Alkisah, hiduplah seorang pedagang yang kaya raya dan memiliki banyak kolega di negerinya. Pada suatu hari pedagang kaya ini melakukan perjalanan niaga ke beberapa negara tetangga.
Di tengah perjalanan, pedagang ini merasakan panas yang luar biasa. Dia pun berhenti untuk berteduh di bawah sebatang pohon, sementara tangannya mengambil sebutir kurma yang dibawanya. Setelah buah kurma yang menjadi bekal perjalanannya itu habis dimakan olehnya, si pedagang kemudian melemparkan begitu saja biji kurma yang ada di tangannya
Ajaib. Setelah dia melemparkan biji kurma itu, tiba-tiba di hadapannya berdiri sesosok jin tinggi besar yang pada salah satu tangannya tergenggam sebilah pedang yang diacungkan ke arah pedagang kaya tersebut.
"Hai manusia, berdirilah agar aku dapat memenggal kepalamu seperti yang kau lakukan terhadap anakku yang baru saja mati disebabkan biji kurma yang kau lemparkan tadi menancap di jantungnya," hardik sang jin. Jin itu kemudian menarik rubuh si pedagang kaya dan menghempaskannya ke tanah. Pedagang kaya yang malang itu pun menjerit kesakitan. Dengan raut wajah yang sedih, si pedagang melantunkan syair:
Masa terbagi dua, ada masa aman, ada masa sengsara
Seperti hidup yang kadang jernih kadang bernoda
Bilang pada orang yang karena masa kami dihina
Mereka yang melawan masa, pasti akan merana
Ketika kau lihat laut dengan bangkai di atasnya
Lupakah kau bahwa dasarnya adalah tempat mutiara
Kalau memang zaman melewati kita hanya percuma
Maka segala busuk padanya kita harus siap terima
Lihatlah langit penuh gemintang tak terkira
Padahal munculnya bulan dan matahari akan membuatnya sirna Bumi kita penuh pohon, ada yang berbuah ada yang merana Hanya pohon buahlah yang ditimpuki 'tuk diambil buahnya Sangkaanmu jadi baik hanya ketika hari tampak riang
Takutmu pada takdir karenanya langsung hilang
Sambil meratap , pedagang kaya itu berkata kepada sang jin, "Wahai jin, tanggunganku banyak. Aku juga punya banyak harta, istri, dan beberapa orang anak. Dan aku pun masih memegang beberapa barang gadaian. Oleh sebab itu, izinkanlah aku untuk pulang barang sejenak agar dapat kubereskan semua urusanku, setelah itu aku akan kembali ke sini untuk menyerahkan diriku padamu ." Rupanya sang jin mempercayai ucapan pedagang itu sehingga si pedagang kaya itu dibiarkannya pergi.
Sesampainya di negerinya, pedagang kaya itu segera membereskan segala
urusannya. Dan ia juga menceritakan hal yang dialaminya kepada istri dan
anak-anaknya. Setelah mendengar penuturan suami dan ayah mereka, istri dan anak-anak pedagang itu langsung menangis.
Tanpa terasa, satu tahun telah berlalu, si pedagang menghabiskan waktu itu untuk menemani keluarga yang akan ditinggalkannya.
Setelah menyampaikan wasiat kepada seluruh keluarganya, si pedagang kaya itu pun berangkat sambil membawa sehelai kain kafan yang dijepit di lengannya. Istri, anak-anak, dan seluruh keluarga melepas kepergian si pe dagang yang pergi untuk menepati janjinya kepada jin yang anaknya telah dibunuh olehnya.
Hari itu adalah awal tahun baru. Di bawah pohon yang dulu menjadi
tempat pertemuannya dengan sang jin, pedagang kaya itu menangis tersedu-
sedu. Tiba-tiba datanglah seorang kakek sambil menuntun seekor kijang.
"Apa yang kau lakukan di tempat ini sendirian? Tahukah kau bahwa tempat
ini adalah sarang jin?" kakek itu bertanya kepada si pedagang. Si pedagang kaya
itu pun lalu menuturkan kepada si kakek semua peristiwa yang dialaminya
termasuk perjanjian yang dia lakukan dengan jin yang menghuni tempat itu.
Mendengar penuturan si pedagang , kakek tua itu terkejut dan berkata,
"Demi Allah, betapa salehnya engkau. Cerita yang kau tuturkan itu juga sangat
luar biasa." Kakek tua itu kemudian duduk di samping si pedagang dan berkata,
"Saudaraku, sungguh aku tidak akan meninggalkanmu sampai aku menyaksi-
kan sendiri apa yang akan dilakukan oleh jin itu terhadap dirimu."
Si kakek tua itu terus berbincang-bincang dengan si pedagang sampai malam menjelang. Rasa takut mulai merasuki perasaan si pedagang kaya. Pikirannya melayang. Rasa gundah di dadanya, bercampur aduk dengan kegelisahan yang menggeliat.
Tiba-tiba datanglah seorang kakek yang menghampiri mereka berdua .
Kakek yang kedua ini datang dengan menuntun dua ekor anjing pemburu
berwarna hitam. Setelah mengucapkan salam, kakek tua pemilik anjing itu
bertanya kepada dua orang yang ditemuinya tentang alasan mereka duduk
di bawah pohon yang diketahui sebagai sebuah sarang jin. Si pedagang dan si
kakek pemilik kijang lalu menceritakan kejadian yang mereka alami.
Ketika si pedagang, kakek tua pemilik kijang, dan kakek tua pemilik anjing
tengah asyik berbincang-bincang, tiba-tiba muncul lagi seorang kakek tua
yang datang bersama seekor bagal. Seperti kedua kakek sebelumnya, kakek
tua pemilik bagal ini pun bertanya kepada ketiga orang yang ditemuinya ten
tang alasan mengapa mereka duduk -duduk di sarang jin. Setelah kakek tua
pemilik bagal itu duduk, ketiga orang yang ditemuinya itu menuturkan semua peristiwa yang mereka alami.
Ketika keempat orang itu tengah asyik berbincang-bincang, tiba-tiba bertiuplah angin yang sangat kencang. Debu beterbangan, mengaburkan pandangan di sekeliling tempat itu. Dan di tengah-tengah debu yang beter bangan itu muncullah sesosok jin dengan sebilah pedang berkilat terhunus di tangannya. Jin itu kemudian menghampiri si pedagang kaya yang duduk bersama tiga orang kakek yang menemaninya.
"Kemarilah kau pedagang, agar aku mudah memancung kepalamu sebagai
hukuman atas pembunuhan yang kau lakukan terhadap diri anakku," hardik
sang jin.
Mendengar itu, si pedagang kaya itu langsung meratap dan menangis ketakutan. Ratapan ketakutan dan tangisan pedagang kaya itu ternyata memancing ketiga kakek tua yang menemaninya untuk memberi bantuan.
Kakek tua pemilik kijang berdiri dan berjalan menghampiri sang jin seraya berkata, "Wahai Paduka Raja Segala Jin.Saya ingin bercerita dan jika cerita saya dianggap aneh dan menarik Bersediakah Paduka menukar sepertiga hukuman pedagang ini dengan cerita hamba tentang kijang yang hamba bawa ini?"
"Baik," jawab sang jin. (Baca Kisah Selanjutnya Saudagar Dan Seekor Kijang)