Sabtu, 08 Desember 2012

1001 Malam Pedagang Dan Raja Jin

Alkisah, hiduplah seorang pedagang yang kaya raya dan memiliki banyak kolega di negerinya. Pada suatu hari pedagang kaya ini melakukan perjalanan niaga ke beberapa negara tetangga. Di tengah perjalanan, pedagang ini merasakan panas yang luar biasa. Dia pun berhenti untuk berteduh di bawah sebatang pohon, sementara tangannya mengambil sebutir kurma yang dibawanya. Setelah buah kurma yang menjadi bekal perjalanannya itu habis dimakan olehnya, si pedagang kemudian melemparkan begitu saja biji kurma yang ada di tangannya Ajaib. Setelah dia melemparkan biji kurma itu, tiba-tiba di hadapannya berdiri sesosok jin tinggi besar yang pada salah satu tangannya tergenggam sebilah pedang yang diacungkan ke arah pedagang kaya tersebut. "Hai manusia, berdirilah agar aku dapat memenggal kepalamu seperti yang kau lakukan terhadap anakku yang baru saja mati disebabkan biji kurma yang kau lemparkan tadi menancap di jantungnya," hardik sang jin. Jin itu kemudian menarik rubuh si pedagang kaya dan menghempaskannya ke tanah. Pedagang kaya yang malang itu pun menjerit kesakitan. Dengan raut wajah yang sedih, si pedagang melantunkan syair: Masa terbagi dua, ada masa aman, ada masa sengsara Seperti hidup yang kadang jernih kadang bernoda Bilang pada orang yang karena masa kami dihina Mereka yang melawan masa, pasti akan merana Ketika kau lihat laut dengan bangkai di atasnya Lupakah kau bahwa dasarnya adalah tempat mutiara Kalau memang zaman melewati kita hanya percuma Maka segala busuk padanya kita harus siap terima Lihatlah langit penuh gemintang tak terkira Padahal munculnya bulan dan matahari akan membuatnya sirna Bumi kita penuh pohon, ada yang berbuah ada yang merana Hanya pohon buahlah yang ditimpuki 'tuk diambil buahnya Sangkaanmu jadi baik hanya ketika hari tampak riang Takutmu pada takdir karenanya langsung hilang Sambil meratap , pedagang kaya itu berkata kepada sang jin, "Wahai jin, tanggunganku banyak. Aku juga punya banyak harta, istri, dan beberapa orang anak. Dan aku pun masih memegang beberapa barang gadaian. Oleh sebab itu, izinkanlah aku untuk pulang barang sejenak agar dapat kubereskan semua urusanku, setelah itu aku akan kembali ke sini untuk menyerahkan diriku padamu ." Rupanya sang jin mempercayai ucapan pedagang itu sehingga si pedagang kaya itu dibiarkannya pergi. Sesampainya di negerinya, pedagang kaya itu segera membereskan segala urusannya. Dan ia juga menceritakan hal yang dialaminya kepada istri dan anak-anaknya. Setelah mendengar penuturan suami dan ayah mereka, istri dan anak-anak pedagang itu langsung menangis. Tanpa terasa, satu tahun telah berlalu, si pedagang menghabiskan waktu itu untuk menemani keluarga yang akan ditinggalkannya. Setelah menyampaikan wasiat kepada seluruh keluarganya, si pedagang kaya itu pun berangkat sambil membawa sehelai kain kafan yang dijepit di lengannya. Istri, anak-anak, dan seluruh keluarga melepas kepergian si pe­ dagang yang pergi untuk menepati janjinya kepada jin yang anaknya telah dibunuh olehnya. Hari itu adalah awal tahun baru. Di bawah pohon yang dulu menjadi tempat pertemuannya dengan sang jin, pedagang kaya itu menangis tersedu- sedu. Tiba-tiba datanglah seorang kakek sambil menuntun seekor kijang. "Apa yang kau lakukan di tempat ini sendirian? Tahukah kau bahwa tempat ini adalah sarang jin?" kakek itu bertanya kepada si pedagang. Si pedagang kaya itu pun lalu menuturkan kepada si kakek semua peristiwa yang dialaminya termasuk perjanjian yang dia lakukan dengan jin yang menghuni tempat itu. Mendengar penuturan si pedagang , kakek tua itu terkejut dan berkata, "Demi Allah, betapa salehnya engkau. Cerita yang kau tuturkan itu juga sangat luar biasa." Kakek tua itu kemudian duduk di samping si pedagang dan berkata, "Saudaraku, sungguh aku tidak akan meninggalkanmu sampai aku menyaksi- kan sendiri apa yang akan dilakukan oleh jin itu terhadap dirimu." Si kakek tua itu terus berbincang-bincang dengan si pedagang sampai malam menjelang. Rasa takut mulai merasuki perasaan si pedagang kaya. Pikirannya melayang. Rasa gundah di dadanya, bercampur aduk dengan kegelisahan yang menggeliat. Tiba-tiba datanglah seorang kakek yang menghampiri mereka berdua . Kakek yang kedua ini datang dengan menuntun dua ekor anjing pemburu berwarna hitam. Setelah mengucapkan salam, kakek tua pemilik anjing itu bertanya kepada dua orang yang ditemuinya tentang alasan mereka duduk di bawah pohon yang diketahui sebagai sebuah sarang jin. Si pedagang dan si kakek pemilik kijang lalu menceritakan kejadian yang mereka alami. Ketika si pedagang, kakek tua pemilik kijang, dan kakek tua pemilik anjing tengah asyik berbincang-bincang, tiba-tiba muncul lagi seorang kakek tua yang datang bersama seekor bagal. Seperti kedua kakek sebelumnya, kakek tua pemilik bagal ini pun bertanya kepada ketiga orang yang ditemuinya ten­ tang alasan mengapa mereka duduk -duduk di sarang jin. Setelah kakek tua pemilik bagal itu duduk, ketiga orang yang ditemuinya itu menuturkan semua peristiwa yang mereka alami. Ketika keempat orang itu tengah asyik berbincang-bincang, tiba-tiba bertiuplah angin yang sangat kencang. Debu beterbangan, mengaburkan pandangan di sekeliling tempat itu. Dan di tengah-tengah debu yang beter­ bangan itu muncullah sesosok jin dengan sebilah pedang berkilat terhunus di tangannya. Jin itu kemudian menghampiri si pedagang kaya yang duduk bersama tiga orang kakek yang menemaninya. "Kemarilah kau pedagang, agar aku mudah memancung kepalamu sebagai hukuman atas pembunuhan yang kau lakukan terhadap diri anakku," hardik sang jin. Mendengar itu, si pedagang kaya itu langsung meratap dan menangis ketakutan. Ratapan ketakutan dan tangisan pedagang kaya itu ternyata memancing ketiga kakek tua yang menemaninya untuk memberi bantuan. Kakek tua pemilik kijang berdiri dan berjalan menghampiri sang jin seraya berkata, "Wahai Paduka Raja Segala Jin.Saya ingin bercerita dan jika cerita saya dianggap aneh dan menarik Bersediakah Paduka menukar sepertiga hukuman pedagang ini dengan cerita hamba tentang kijang yang hamba bawa ini?" "Baik," jawab sang jin. (Baca Kisah Selanjutnya Saudagar Dan Seekor Kijang)