Sabtu, 07 Februari 2015

Siti Rabiatul Adawiyah


Rabi’ah adalah anak keempat dari empat saudara. Semuanya perempuan. Ayahnya menamakan Rabi’ah, yang artinya “empat”, tak lain karena ia merupakan anak keempat dari keempat saudaranya itu. Diceritakan, sewaktu bayi Rabi’ah lahir malam hari, di rumahnya sama sekali tidak ada minyak sebagai bahan untuk penerangan, termasuk kain pembungkus untuk bayi Rabi’ah. Karena tak ada alat penerangan, ibunya lalu meminta sang suami, Ismail, untuk mencari minyak di rumah tetangga. Namun, karena suaminya terlanjur berjanji untuk tidak meminta bantuan pada sesama manusia (kecuali pada Tuhan), Ismail pun terpaksa pulang dengan tangan hampa.

Saat Ismail tertidur untuk menunggui putri keempatnya yang baru lahir tersebut, ia kemudian bermimpi didatangi oleh Nabi Muhammad Saw dan bersabda: “Janganlah bersedih hati, sebab anak perempuanmu yang baru lahir ini adalah seorang suci yang agung, yang pengaruhnya akan dianut oleh 7.000 umatku.” Nabi kemudian bersabda lagi: “Besok kirimkan surat kepada Isa Zadzan, Amir kota Basrah, ingatkanlah kepadanya bahwa ia biasanya bershalawat seratus kali untukku dan pada malam Jum’at sebanyak empat ratus kali, tetapi malam Jum’at ini ia melupakanku, dan sebagai hukumannya ia harus membayar denda kepadamu sebanyak empat ratus dinar.”

Ayah Rabi’ah kemudian terbangun dan menangis. Tak lama, ia pun menulis surat dan mengirimkannya kepada Amir kota Basrah itu yang dititipkan kepada pembawa surat pemimpin kota itu. Ketika Amir selesai membaca surat itu, ia pun berkata: “Berikan dua ribu dinar ini kepada orang miskin itu sebagai tanda terima kasihku, sebab Nabi telah mengingatkanku untuk memberi empat ratus dinar kepada orang tua itu dan katakanlah kepadanya bahwa aku ingin agar ia menghadapku supaya aku dapat bertemu dengannya. Tetapi aku rasa tidaklah tepat bahwa orang seperti itu harus datang kepadaku, akulah yang akan datang kepadanya dan mengusap penderitaannya dengan janggutku.”

Sekalipun keluarganya berada dalam kehidupan yang serba kekurangan, namun ayah Rabi’ah selalu hidup zuhud dan penuh kesalehan. Begitu pun Rabi’ah, yang meskipun sejak kecil hingga dewasanya hidup serba kekurangan, namun ia sama sekali tidak menciutkan hatinya untuk terus beribadah kepada Allah. Sebaliknya, kepapaan keluarganya ia jadikan sebagai kunci untuk memasuki dunia sufi, yang kemudian melegendakan namanya sebagai salah seorang martir sufi wanita di antara deretan sejarah para sufi.

Rabi’ah memang tidak mewarisi karya-karya sufistik, termasuk sya’ir-sya’ir Cinta Ilahinya yang kerap ia senandungkan. Namun begitu, Sya’ir-sya’ir sufistiknya justru banyak dikutip oleh para penulis biografi Rabi’ah, antara lain J. Shibt Ibnul Jauzi (w. 1257 M) dengan karyanya Mir’at az-Zaman (Cermin Abad Ini), Ibnu Khallikan (w. 1282 M) dengan karyanya Wafayatul A’yan (Obituari Para Orang Besar), Yafi’I asy-Syafi’i (w. 1367 M) dengan karyanya Raudl ar-Riyahin fi Hikayat ash-Shalihin (Kebun Semerbak dalam Kehidupan Para Orang Saleh), dan Fariduddin Aththar (w. 1230 M) dengan karyanya Tadzkirat al-Auliya’ (Memoar Para Wali).

Saat Rabi’ah menginjak dewasa, ayah dan ibunya kemudian meninggal dunia. Jadilah kini ia sebagai anak yatim piatu. Penderitaan Rabi’ah terus bertambah, terutama setelah kota Basrah dilanda kelaparan hebat. Rabi’ah dan suadara-saudaranya terpaksa harus berpencar, sehingga ia harus menanggung beban penderitaan itu sendirian.

Suatu hari, ketika sedang berejalan-jalan di kota Basrah, ia berjumpa dengan seorang laki-laki yang memiliki niat buruk. Laki-laki itu lalu menarik Rabi’ah dan menjualnya sebagai seorang budak seharga enam dirham kepada seorang laki-laki. Dalam statusnya sebagai budak, Rabi’ah benar-benar diperlakukan kurang manusiawi. Siang malam tenaga Rabi’ah diperas tanpa mengenal istirahat. Suatu ketika, ada seorang laki-laki asing yang datang dan melihat Rabi’ah tanpa mengenakan cadar. Ketika laki-laki itu mendekatinya, Rabi’ah lalu meronta dan kemudian jatuh terpeleset. Mukanya tersungkur di pasir panas dan berkata: “Ya Allah, aku adalah seorang musafir tanpa ayah dan ibu, seorang yatim piatu dan seorang budak. Aku telah terjatuh dan terluka, meskipun demikian aku tidak bersedih hati oleh kejadian ini, hanya aku ingin sekali ridla-Mu. Aku ingin sekali mengetahui apakah Engkau Ridla terhadapku atau tidak.” Setelah itu, ia mendengar suara yang mengatakan, “Janganlah bersedih, sebab pada saat Hari Perhitungan nanti derajatmu akan sama dengan orang-orang yang terdekat dengan Allah di dalam surga.”

Setelah itu, Rabi’ah kembali pulang pada tuannya dan tetap menjalankan ibadah puasa sambil melakukan pekerjaannya sehari-hari. Konon, dalam menjalankan ibadah itu, ia sanggup berdiri di atas kakinya hingga siang hari.

Pada suatu malam, tuannya sempat terbangun dari tidurnya dan dari jendela kamarnya ia melihat Rabi’ah sedang sujud beribadah. Dalam shalatnya Rabi’ah berdoa, “Ya Allah, ya Tuhanku, Engkau-lah Yang Maha Mengetahui keinginan dalam hatiku untuk selalu menuruti perintah-perintah-Mu. Jika persoalannya hanyalah terletak padaku, maka aku tidak akan henti-hentinya barang satu jam pun untuk beribadah kepada-Mu, ya Allah. Karena Engkau-lah yang telah menciptakanku.” Tatkala Rabi’ah masih khusyuk beribadah, tuannya tampak melihat ada sebuah lentera yang tergantung di atas kepala Rabi’ah tanpa ada sehelai tali pun yang mengikatnya. Lentera yang menyinari seluruh rumah itu merupakan cahaya “sakinah” (diambil dari bahasa Hebrew “Shekina”, artinya cahaya Rahmat Tuhan) dari seorang Muslimah suci.

Melihat peristiwa aneh yang terjadi pada budaknya itu, majikan Rabi’ah tentu saja merasa ketakutan. Ia kemudian bangkit dan kembali ke tempat tidurnya semula. Sejenak ia tercenung hingga fajar menyingsing. Tak lama setelah itu ia memanggil Rabi’ah dan bicara kepadanya dengan baik-baik seraya membebaskan Rabi’ah sebagai budak. Rabi’ah pun pamitan pergi dan meneruskan pengembaraannya di padang pasir yang tandus.

Dalam pengembaraannya Rabi’ah berkeinginan sekali untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Akhirnya, ia berangkat juga dengan ditemani seekor keledai sebagai pengangkut barang-barangnya. Sayangnya, belum lagi perjalanan ke Mekkah sampai, keledai itu tiba-tiba mati di tengah jalan. Ia kemudian berjumpa dengan serombongan kafilah dan mereka menawarkan kepada Rabi’ah untuk membawakan barang-barang miliknya. Namun, tawaran itu ditolaknya baik-baik dengan alasan tak ingin meminta bantuan kepada bukan selain Tuhannya. Ia hanya percaya pada bantuan Allah dan tidak percaya pada makhluk ciptaan-Nya.

Orang-orang itu pun memahami keinginan Rabi’ah, sehingga mereka meneruskan perjalanannya. Rabi’ah terdiam dan kemudian menundukkan kepalanya sambil berdoa, “Ya Allah, apalagi yang akan Engkau lakukan dengan seorang perempuan asing dan lemah ini? Engkau-lah yang memanggilku ke rumah-Mu (Ka’bah), tetapi di tengah jalan Engkau mengambil keledaiku dan membiarkan aku seorang diri di tengah padang pasir ini.”

Setelah asyik bermunajat, di depan Rabi’ah tampak keledai yang semula mati itu pun hidup kembali. Rabi’ah tentu saja gembira karena bisa meneruskan perjalannya ke Mekkah.

Dalam cerita yang berbeda disebutkan, saat Rabi’ah berada di tengah padang pasir, ia berdoa, “Ya Allah, ya Tuhanku. Hatiku ini merasa bingung sekali, ke mana aku harus pergi? Aku hanyalah debu di atas bumi ini dan rumah itu (Ka’bah) hanyalah sebuah batu bagiku. Tampakkanlah wajah-Mu di tempat yang mulia ini.” Bgeitu ia berdoa sehingga muncul suara Allah dan langsung masuk ke dalam hatinya tanpa ada jarak, “Wahai Rabi’ah, ketika Musa ingin sekali melihat wajah-Ku, Aku hancurkan Gunung Sinai dan terpecah menjadi empat puluh potong. Tetaplah berada di situ dengan Nama-Ku.”

Diceritakan pula, saat Rabi’ah dalam perjalanannya ke Mekkah, tiba-tiba di tengah ia melihat Ka’bah datang menghampiri dirinya. Rabi’ah lalu berkata, “Tuhanlah yang aku rindukan, apakah artinya rumah ini bagiku? Aku ingin sekali bertemu dengan-Nya yang mengatakan, ‘Barangsiapa yang mendekati Aku dengan jarak sehasta, maka Aku akan berada sedekat urat nadinya.’ Ka’bah yang aku lihat ini tidak memiliki kekuatan apa pun terhadap diriku, kegembiraan apa yang aku dapatkan apabila Ka’bah yang indah ini dihadapkan pada diriku?” Singkat cerita, sekembalinya Rabi’ah dari menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia kemudian menetap di Basrah dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Allah seraya melakukan perbuatan-perbuatan mulia.

Sebagaimana yang banyak ditulis dalam biografi Rabi’ah al-Adawiyah, wanita suci ini sama sekali tidak memikirkan dirinya untuk menikah. Sebab, menurut Rabi’ah, jalan tidak menikah merupakan tindakan yang tepat untuk melakukan pencarian Tuhan tanpa harus dibebani oleh urusan-urusan keduniawian. Padahal, tidak sedikit laki-laki yang berupaya untuk mendekati Rabi’ah dan bahkan meminangnya. Di antaranya adalah Abdul Wahid bin Zayd, seorang sufi yang zuhud dan wara. Ia juga seorang teolog dan termasuk salah seorang ulama terkemuka di kota Basrah.

Suatu ketika, Abdul Wahid bin Zayd sempat mencoba meminang Rabi’ah. Tapi lamaran itu ditolaknya dengan mengatakan, “Wahai laki-laki sensual, carilah perempuan sensual lain yang sama dengan mereka. Apakah engkau melihat adanya satu tanda sensual dalam diriku?”

Laki-laki lain yang pernah mengajukan lamaran kepada Rabi’ah adalah Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, seorang Amir Abbasiyah dari Basrah (w. 172 H). Untuk berusaha mendapatkan Rabi’ah sebagai istrinya, laki-laki itu sanggup memberikan mahar perkawinan sebesar 100 ribu dinar dan juga memberitahukan kepada Rabi’ah bahwa ia masih memiliki pendapatan sebanyak 10 ribu dinar tiap bulan. Tetapi dijawab oleh Rabi’ah, ”Aku sungguh tidak merasa senang bahwa engkau akan menjadi budakku dan semua milikmu akan engkau berikan kepadaku, atau engkau akan menarikku dari Allah meskipun hanya untuk beberapa saat.”

Dalam kisah lain disebutkan, ada laki-laki sahabat Rabi’ah bernama Hasan al-Bashri yang juga berniat sama untuk menikahi Rabi’ah. Bahkan para sahabat sufi lain di kota itu mendesak Rabi’ah untuk menikah dengan sesama sufi pula. Karena desakan itu, Rabi’ah lalu mengatakan, “Baiklah, aku akan menikah dengan seseorang yang paling pintar di antara kalian.” Mereka mengatakan Hasan al-Bashri lah orangnya.” Rabi’ah kemudian mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Jika engkau dapat menjawab empat pertanyaanku, aku pun akan bersedia menjadi istrimu.” Hasan al-Bashri berkata, “Bertanyalah, dan jika Allah mengizinkanku, aku akan menjawab pertanyaanmu.”

“Pertanyaan pertama,” kata Rabi’ah, “Apakah yang akan dikatakan oleh Hakim dunia ini saat kematianku nanti, akankah aku mati dalam Islam atau murtad?” Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang dapat menjawab.”

“Pertanyaan kedua, pada waktu aku dalam kubur nanti, di saat Malaikat Munkar dan Nakir menanyaiku, dapatkah aku menjawabnya?” Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.”

“Pertanyaan ketiga, pada saat manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar di Hari Perhitungan (Yaumul Hisab) semua nanti akan menerima buku catatan amal di tangan kanan dan di tangan kiri. Bagaimana denganku, akankah aku menerima di tangan kanan atau di tangan kiri?” Hasan kembali menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Tahu.”

“Pertanyaan terakhir, pada saat Hari Perhitungan nanti, sebagian manusia akan masuk surga dan sebagian lain masuk neraka. Di kelompok manakah aku akan berada?” Hasan lagi-lagi menjawab seperti jawaban semula bahwa hanya Allah saja Yang Maha Mengetahui semua rahasia yang tersembunyi itu.

Selanjutnya, Rabi’ah mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Aku telah mengajukan empat pertanyaan tentang diriku, bagaiman aku harus bersuami yang kepadanya aku menghabiskan waktuku dengannya?” Dalam penolakannya itu pula, Rabi’ah lalu menyenandungkan sebuah sya’ir yang cukup indah.

Damaiku, wahai saudara-saudaraku,
Dalam kesendirianku,
Dan kekasihku bila selamanya bersamaku,
Karena cintanya itu,
Tak ada duanya,
Dan cintanya itu mengujiku,
Di antara keindahan yang fana ini,
Pada saat aku merenungi Keindahan-Nya,
Dia-lah “mirabku”, Dia-lah “kiblatku”,
Jika aku mati karena cintaku,
Sebelum aku mendapatkan kepuasaanku,
Amboi, alangkah hinanya hidupku di dunia ini,
Oh, pelipur jiwa yang terbakar gairah,
Juangku bila menyatu dengan-Mu telah melipur jiwaku,
Wahai Kebahagiaanku dan Hidupku selamanya,
Engkau-lah sumber hidupku,
Dan dari-Mu jua datang kebahagiaanku,
Telah kutanggalkan semua keindahan fana ini dariku,
Harapku dapat menyatu dengan-Mu,
Karena itulah hidup kutuju.

Fariduddin al-Attar menceritakan dalam kitab Taz-kiratul Auliya bahwa Rabiah pandai sekali meniup seruling. Untuk jangka waktu tertentu ia menopang hidupnya dengan bermain musik. Namun, kemudian ia memanfaatkan kepandaiannya untuk mengiringi para sufi yang sedang berzikir dalam upayanya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu ia mengunjungi masjid-masjid, dari pagi sampai larut malam. Namun, lantaran ia merasa dengan cara itu Tuhan tidak makin menghampirinya, maka ditinggalkannya semua itu.

Ia tidak lagi meniup seruling, dan ia tidak lagi mendatangi masjid-masjid. Ia menghabiskan waktu dengan beribadah dan berzikir. Periode yang kedua ini disebut sebagai periode Sufi, suatu periode tatkala Rabiah telah mencapai mahabbattullah (cinta pada Allah) sampai meninggal dan dipuji sebagai Testimony of Belief (Bukti Keimanan).

Doris Lessing, seorang pengamat perjalanan hidup Rabiah, memberi kesimpulan bahwa sufisme tokoh wanita ini adalah bentuk sufisme cinta. Sejenis sufisme yang menempatkan cinta (mahabbah) sebagai panggilan jiwanya. Sufisme yang tak bermaksud larut dalam ekstatik (gairah yang meluap) serta tak berdimensi pemujaan atau pemuliaan dan metode-metode tambahan yang penuh dengan sakramen.

Kendati demikian, pengalaman Rabiah adalah pengalaman orang suci yang sulit ditiru oleh awam. Memahami Rabiah sangat sulit. Seperti masa hidupnya, Rabiah tampaknya jauh dari kita. Selain itu, kesempurnaan yang menyertainya tak mungkin dapat ditandingi oleh orang-orang biasa.

Apa yang dilakukan Rabiah dalam hidupnya sebetulnya adalah ikhtiar untuk membiasakan diri ‘bertemu’ dengan pencipta-Nya. Di situlah ia memperoleh kehangatan, kesyahduan, kepastian, dan kesejatian hidup. Sesuatu yang kini sangat dirindukan oleh manusia modern. Karena itu, menjadi pemuja Tuhan adalah obsesi Rabiah yang tidak pernah mengenal tepi dan batas. Tak heran jika dunia yang digaulinya bebas dari perasaan benci. Seluruhnya telah diberikan untuk sebuah cinta.

Meskipun hidup Rabiah seperti berlangsung linear dan konstan, seluruh energi hidupnya dia abdikan untuk cinta, Rabiah memberi tahu kepada kita bahwa hidup memang tidak sederhana, seperti yang dijalaninya. Hidup itu begitu rumit, kadang kadang ada kemesraan dan kadang-kadang ada kehidmatan bertahta.

Menarik kita simak beberapa doa Rabiah yang dipanjatkan pada waktu larut malam, di atas atap rumahnya: “O Tuhanku, bintang-bintang bersinar gemerlapan, manusia telah tidur nyenyak, dan raja-raja telah menutup pintunya, tiap orang yang bercinta sedang asyik masyuk dengan kesayangannya, dan di sinilah aku sendirian bersama Engkau.”

Jika fajar telah merekah dan serat-serat cahaya menebari cakrawala, Rabiah pun berdoa dengan khusyuk, “Ya, illahi. Malam telah berlalu, dan siang menjelang datang. Aduhai, seandainya malam tidak pernah berakhir, alangkah bahagianya hatiku sebab aku dapat selalu bermesra-mesra dengan-Mu. illahi, demi kemuliaan-Mu, walaupun Kautolak aku mengetuk pintu-Mu, aku akan senantiasa menanti di depan pintu karena cintaku telah terikat dengan-Mu.”

Lantas, jika Rabiah membuka jendela kamarnya, dan alam lepas terbentang di depan matanya, ia pun segera berbisik, “Tuhanku. Ketika kudengar margasatwa berkicau dan burung-burung mengepakkan sayapnya, pada hakikatnya mereka sedang memuji-Mu. Pada waktu kudengar desauan angin dan gemericik air di pegunungan, bahkan manakala guntur menggelegar, semuanya kulihat sedang menjadi saksi atas keesaan-Mu.

Tentang masa depannya ia pernah ditanya oleh Sufyan Tsauri: “Apakah engkau akan menikah kelak?” Rabiah mengelak, “Pernikahan merupakan kewajiban bagi mereka yang mempunyai pilihan. Padahal aku tidak mempunyai pilihan kecuali mengabdi kepada Allah.” “Bagaimanakah jalannya sampai engkau mencapai martabat itu?” “Karena telah kuberikan seluruh hidupku,” ujar Rabiah. “Mengapa bisa kaulakukan itu, sedangkan kami tidak?” Dengan tulus Rabiah menjawab, “Sebab aku tidak mampu menciptakan keserasian antara perkawinan dan cinta kepada Tuhan.”

Rabiah wafat dengan meninggalkan pengalaman sufistik yang tak terhingga artinya. Hikmah yang ditinggalkan sangat berharga dan patut kita gali sebagai ‘makrifat’ hidup.
Baca selengkapnya

Jumat, 06 Februari 2015

Budak Yang Aneh


Pada suatu hari Abdul Wahid bin Zaid r.a berjalan-jalan dipasar tiba-tiba ia melihat seorang budak yang sedang dijual. budak tersebut melihat Abdul Wahid dengan mata yang tajam lalu Abdul Wahid timbul keinginan untuk membeli budak tersebut untuk membuat kerja-kerja dirumahnya. budak ini adalah seorang yang taat dan senantiasa melakukan pekerjaan dengan tekun sekali.
Abdul Wahid merasa heran tentang perangai budak ini kerana diwaktu siang ia bekerja dengan tekun dan diwaktu malam ia tidak ada dirumah walaupun Abdul Wahid sudah mencarinya kemana-mana padahal pintu rumah selalu tertutup dan tidak ada tanda-tanda bahawa pintu telah dibuka.namun Pada waktu pagi harinya budak tersebut telah berada kembali didalam rumah dan menyerahkan satu keping uang dirham yang terukir surat Al-Ikhlas diatasnya. Apabila ditanya oleh Abul Wahid, budak tersebut menjawab " saya akan memberi kepada tuan setiap hari satu keping uang dirham asalkan tuan jangan bertanya kemana saya pergi". Abdul Wahid menerimanya dan tidak mempermasalahkan lagi hal tersebut.
Satelah sekian lama perkara tersebut berlalu, pada suatu hari datanglah seorang teman Abdul Wahid dan memberi tahu bahawa kerja budaknya setiap malam adalah menggali kubur orang yang maninggal dunia. Abdul Wahid amat terkejut atas apa yang diberi tahu oleh kawanya, tetapi dia tidak percaya. oleh karna itu Abdul Wahid berjanji akan menyiasati perkara itu terlebih dahulu.
Pada suatu malam sehabis sembahyang Isyak, Abdul Wahid mengintai gerak geri budaknya tanpa diketahui bahawa dia sedang di intip. Abdul Wahid melihat budaknya menuju ke arah pintu dan hanya dengan menunjukkan jarinya saja pintu tersebut terbuka dengan sendirinya. Satelah budaknya keluar,pintu tersebut tertutup kembali dengan sendirinya. Abdul Wahid terus membuntuti hambanya sampai kesuatu tempat yang luas(padang pasir).kemudian  budak itu mengganti pakaian yang di pakainya dengan pakaian lain yang terbuat daripada kain goni.lalu budak tersebut menunaikan solat hingga terbit fajar. Setelah selesai solat budak tersebut menengadahkan tangannya kelangit dan memohon kepada yang Maha Berkuasa dengan berkata "wahai tuhanku yang besar berilah upah kepada hambamu yang kecil ini".dan setelah selesai berdoa jatuhlah sekeping uang dirham dari langit lalu diambil oleh budak tersebut. Abdul Wahid mengamati budaknya dengan perasaan heran dan tak percaya.
Namun karena hari sudah hampir siang, Abdul Wahid segera mencari air disekitarnya untuk berwudu'dan menunaikan solat Subuh. ketika beliau berdoa dia berjanji akan memerdekakan budaknya kerana budak yang saleh seperti dia tidak seharusnya menghambakan diri kepada sesama manusia. Selesai berdoa Abdul Wahid mencari budaknya tapi budak itu tidak dapat di temukan dia telah menghilang dengan  cepat sekali. Abdul Wahid mencoba mencari jalan untuk kembali kerumahnya tetapi jalanan yang di lewatinya terasa asing baginya. Dengan perasaan cemas dan menyesal atas tindakannya Abdul Wahid mondar mandir berusaha mengingat jalan yang tadi malam di lewatinya namun tiba-tiba dari jauh nampak bayangan orang berkuda sedang menuju kearah beliau.
Dengan parasaan tidak sabar, Abdul Wahid menunggu kedatangan orang tersebut dan ketika orang itu sampai ketempat beliau, orang berkuda tersebut bertanya "apakah yang kamu buat ditengah- tengah padang pasir ini wahai Abdul Wahid". Abdul Wahid keheranan dan berkata didalam hatinya, bagaimanakah orang ini mengetahui nama aku. Abdul Wahid menceritakan kepada orang berkuda itu apa yang telah terjadi. Orang berkuda itu berkata lagi "janganlah kamu berasa curiga terhadap apa yang terjadi" Abdul Wahid mengangguk-ngangguk saja mendengar apa yang dikatakan oleh orang berkuda tadi. Orang berkuda itu berkata lagi " tahukah kamu berapa jauh rumah kamu dangan tempat ini" jawab Abdul Wahid " saya tidak tahu". "Jaraknya adalah dua tahun perjalanan dengan kuda yang berlari dengan cepat" kata orang berkuda. Abdul Wahid keheranan dengan kata-kata orang berkuda tadi dan berkata didalam hati ketika aku mengikuti budakku tadi malam hanya beberapa menit saja aku sudah sampai kemari.
Sebelum berlalu,orang berkuda tersebut berpesan kepada Abdul Wahid supaya mengunggu dan jangan kemana-mana, nanti malam budakmu akan datang dan kamu dapat mengikutinya untuk kembali pulang. Abdul Wahid menuruti  apa yang dikatakan oleh orang berkuda tadi. Selama menuggu Abdul Wahid beberapa kali tertidur dan terjaga kerana keletihan dan kehausan.Dan ketika Abdul Wahid tersedar dari tidurnya dia mendapati makanan dan minuman telah terhidang disisinya dan budaknya juga berada disitu. budaknya mempersilahkan Abdul Wahid makan makanan yang telah terhidang itu.dan Tanpa bekata apa-apa lagi Abdul Wahid langsung memakannya dengan lahap akibat lapar dan dahaga yang sudah lama di rasakannya. budaknya berkata kepada Adul Wahid "janganlah tuan mengulangi lagi pebuatan ini dan tunggulah disini sehingga saya selesai solat". budak itu terus mengerjakan solat sehingga terbit fajar. Satelah selesai sembahyang budak itu berdoa seperti malam sebelumnya ,dan tiba-tiba jatuh sekeping dirham dari langit dan diberikan kepada Abdul Wahid dan dia mengambil lagi satu dirham dari sakunya seraya berkata "ini uang dirham untuk malam tadi".
Satelah selesai,budakn itu menuntun Abdul Wahid dan berjalan dengan cepatnya dan tidak sampai beberapa saat mereka telah tiba dihadapan rumah Abdul Wahid. budak itu  bertanya kepada Abdul Wahid "betulkah tuan akan memerdekakan saya kerana Allah Taala" Abdul Wahid menjawab"benar" Lalu budak itu menunjuk pada sebuah batu yang biasa di gunakan untuk mengganjal pintu rumahnya dan berkata bahwa batu itu adalah uang tebusannya. Abdul Wahid merasa heran bagaimnana batu yang telah lama berada disitu dijadikan uang tebusan. Lalu Abdul Wahid mengambil batu tersebut dan dengan serta merta batu itu berubah menjadi emas.lagi-lagi Abdul wahid keheranan atas keajaiban yang  dilihatnya.
Pada waktu siangnya Abdul Wahid pergi kerumah kawannya yang menuduh budaknya menggali kubur dan menceritakan kepadanya apa yang sebenarnya terjadi. Sementara dirumahnya terjadi kekecuhan dimana anak perumpuan Abdul Wahid memaki-maki budaknya kerana menyangka selama dua malam ayahnya di sekap dan menuduh budak itu telah membunuh ayahnya kerana mengintip perbuatan jahatnya menggali kuburan orang. Anak perempuan Abdul wahid dengan perasaan marah mengambil sebongkah batu dan melemparkan kearah budaktersebut dan mengenai matanya sehingga bola mata budak itu keluar dan dia jatuh pingsan.
Satelah Abdul Wahid kembali kerumahnya dia sangat marah mendengar apa yang telah terjadi. Dengan perasaan marah Abdul Wahid mengambil pedang lalu memotong tangan anaknya sehingga putus. Abdul Wahid merasa kesal atas tuduhan yang dibuat oleh anaknya sedangkan mereka tidak mengetahui keadaan sebenarnya.
Satelah budaknya sadar dari pingsan, budak itu bangkit kemudian mengambil bola mata yang terjatuh lalu dimasukkan kembali ketempat asalnya sambil berdoa kepada Allah supaya memulihkan kembali penglihatannya. Satelah berdoa, matanya kembali sembuh seperti sedia kala dan budak itu pergi mengambil tangan anak Abdul Wahid yang putus lalu menyambungnya seraya membaca sesuatu. Tidak lama kemudian tangan anak Abdul Wahid kembali pulih seperti sedia kala. budak itu kemudian meminta diri dan dan segera pergi. Orang yang menyaksikan  keheranan melihat keajaiban yang terjadi di hadapan mereka...


Baca selengkapnya

Senin, 02 Februari 2015

Abu Nawas

Ilahi, lastu lilfirdausi ahla. Wala aqwa 'ala naril jahimi Fahab li tawbatan waghfir dzunubi. Fainaka ghafirud dzanbil adzimi Artinya: Tuhanku, Hamba tidaklah pantas menjadi penghuni surga (Firdaus). Namun, hamba juga tidak kuat menahan panas api neraka. Maka berilah hamba tobat dan ampunilah hamba atas dosa-dosa hamba. Karena sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Mahaagung Dua bait syair di atas tentu sudah sangat akrab di telinga masyarakat Indonesia terutama kaum tradisionalis Islam. Beberapa saat menjelang shalat Magrib atau Subuh, jemaah di masjid-masjid atau musala di pedesaan biasanya mendendangkan syair tersebut dengan syahdu sebagai puji-pujian. Konon, kedua bait tersebut adalah hasil karya tokoh kocak Abu Nawas. Ia adalah salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik.
Abu Nawas juga muncul beberapa kali dalam kisah 1001 Malam. Bagi masyarakat Islam Indonesia, nama Abu Nawas atau Abu Nuwas juga bukan lagi sesuatu yang asing.
Abu Nawas dikenal terutama karena kelihaian dan kecerdikannya melontarkan kritik-kritik tetapi dibungkus humor.
Mirip dengan Nasrudin Hoja, sesungguhnya ia adalah tokoh sufi, filsuf, sekaligus penyair.
Ia hidup di zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad (806-814 M).

Selain cerdik, Abu Nawas juga dikenal dengan kenyentrikkannya. Sebagai penyair, mula-mula ia suka mabuk. Belakangan, dalam perjalanan spiritualnya mencari hakikat Allah dan kehidupan sejati, ia menemukan kehidupan rohaniahnya yang sejati meski penuh liku dan sangat mengharukan.
Setelah mencapai tingkat spiritual yang cukup tinggi, inspirasi puisinya bukan lagi khamar, melainkan nilai-nilai ketuhanan.
Ia tampil sebagai penyair sufi yang tiada banding. Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami.
Dia dilahirkan pada 145 H (747 M ) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II.
Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol.
Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak.
Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan. Masa mudanya penuh perilaku kontroversial yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam.
Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, di samping cita rasa kemanusiaan dan keadilan.
Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah.
Ia juga belajar Al-Quran kepada Ya'qub al-Hadrami.
Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad as-Samman. Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab.

Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng.
Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab. Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair.
Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan.
Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.
Dalam Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim.
Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (sya'irul bilad).
Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna.
 Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah.

Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M.
Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.
Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah.
Dua bait syair di atas merupakan salah satu syairnya yang dapat dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa spiritual yang dalam. Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan.
Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi.
Ia pernah hidup dalam kegelapan – tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri. Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu.

Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya. Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M.
Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti - yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad. Sejumlah puisi Abu Nawas dihimpun dalam Diwan Abu Nuwas yang telah dicetak dalam berbagai bahasa. Ada yang diterbitkan di Wina, Austria (1885), di Greifswald (1861), di Kairo, Mesir (1277 H/1860 M), Beirut, Lebanon (1301 H/1884 M), Bombay, India (1312 H/1894 M). Beberapa manuskrip puisinya tersimpan di perpustakaan Berlin, Wina, Leiden, Bodliana, dan Mosul.

Salah satu cerita menarik berkenaan dengan Abu Nawas adalah saat menejelang sakaratulmautnya. Konon, sebelum mati ia minta keluarganya mengkafaninya dengan kain bekas yang lusuh. Agar kelak jika Malaikat Munkar dan Nakir datang ke kuburnya, Abu Nawas dapat menolak dan mengatakan.
 "Tuhan, kedua malaikat itu tidak melihat kain kafan saya yang sudah compang-camping dan lapuk ini. Itu artinya saya penghuni kubur yang sudah lama." Tentu ini hanyalah sebuah lelucon, dan memang kita selama ini hanya menyelami misteri kehidupan dan perjalanan tohoh sufi yang penuh liku dan sarat hikmah ini dalam lelucon dan tawa.
Baca selengkapnya

Jalaluddin Al-Rumi

Jalaluddin Rumi, pendiri Tarekat Para Darwis Berputar, dalam karirnya menjadi bukti ungkapan Timur, “Para raksasa muncul dari Afghanistan dan mempengaruhi dunia.” Ia dilahirkan di Bactria, dari sebuah keluarga bangsawan pada awal abad ketiga belas. Ia tinggal dan mengajar di Iconum (Rum) di Asia Kecil, sebelum munculnya Kerajaan Utsmani, yang tahtanya menurut seruannya ia tolak. Karya-karyanya ditulis dalam bahasa Persia, dan dipandang tinggi oleh orang Persia karena kandungan puitis, kesusastraan dan mistiknya. Sehingga karya-karya ini disebut sebagai “al-Qur’an dalam bahasa Pehlevi (bahasa Persia)”
— meskipun karya-karya ini bertentangan dengan kepercayaan bangsa Persia, sekte Syi’ah,
yang dikritik atas eksklusivismenya. Di kalangan orang Muslim Arab, India dan Pakistan, Rumi dipandang sebagai salah seorang dari guru mistik tingkat pertama — meskipun ia menyatakan bahwa ajaran-ajaran al-Qur’an bersifat alegoris,dan ia memiliki tujuh makna yang berbeda.
Jangkauan pengaruh Rumi sulit untuk bisa diperkirakan, meskipun hal ini terkadang bisa dilihat secara sekilas, pada kesusastraan dan pemikiran dari berbagai madzhab. Bahkan Doktor Johnson, yang terkenal karena pernyataannya yang tidak menyenangkan, mengatakan tentang Rumi,

 “Ia menjelaskan kepada Peziarah akan rahasia-rahasia dari jalan Kesatuan, dan menyingkap Misteri-misteri dari jalan Kebenaran Abadi.” Karyanya telah cukup dikenal dalam kurun waktu kurang dari seratus tahun setelah kematiannya pada 1273, karena Chaucer menggunakannya sebagai rujukan sebagian karyanya,
bersama-sama dengan bahan dari ajaran-ajaran guru spiritual Rumi, Aththar sang Kimiawan (1150-1229/30). Dan berbagai rujukan terhadap bahan bahasa Arab yang bisa ditemukan pada Chaucer,
 bahkan suatu pengujian secara cepat memperlihatkan suatu pengaruh Sufi dari Madzhab Rumi dalam literatur.
Penggunaan Chaucer terhadap ungkapan seperti,
 “Singa mungkin bisa mengambil pelajaran ketika seekor anjing dihukum …,” merupakan adaptasi semata yang terkait pada kata-kata, idhtrib al-kalba wa ya’khud addaba al-fahdu (“Pukullah anjing dan singa akan mengambil pelajaran!”), sebagai suatu ungkapan rahasia yang digunakan oleh Para Darwis Berputar.

Penafsirannya bergantung pada suatu permainan pada kata-kata “anjing” dan “singa”. Meskipun ditulis demikian rupa,
 kata kunci tersebut dipergunakan secara homofone. Sebagai ganti mengucapkan “anjing” (kalb), Sufi mengatakan “hati” (qalb), dan sebagai ganti kata “singa” (fahdu) adalah kata fahid (“kelalaian”). Ungkapan tersebut sekarang menjadi,
 “Pukullah hati (dengan latihan-latilian Sufi) dan kelalaian (fakultas-fakultas [jiwa]) akan bersikap (dengan benar).” Ini merupakan slogan yang memperkenalkan gerakan-gerakan “pemukulan hati” yang didorong oleh gerakan dan konsentrasi pada Mevlevi — “Para Darwis Berputar”.
 Hubungan antara Canterbury Tales (Cerita-cerita Canterbury) sebagai sebuah alegori perkembangan batin dan Parliament of the Birds dari Aththar merupakan persoalan menarik lamnya.
Profesor Skeat mengingatkan kita bahwa, seperti Aththar
Chaucer memiliki tiga puluh pengikut.
Tiga puluh Peziarah tersebut mencari burung mistik, dan nama burung itu adalah Simurgh. Nama ini masuk akal dalam bahasa Persia, sebab Simurgh bermakna “tiga puluh burung”.

tetapi dalam bahasa Inggris pengubahan (bentuk) semacam ini tidaklah mungkin. Jumlah peziarah tersebut, yang diperlukan dalam bahasa Persia sebab adanya persyaratan irama, dipertahankan Chaucer, menghilangkan makna ganda.
The Pardoner’s Tale terdapat pada Aththar, cerita pohon pear ditemukan pada Kitab IV dari karya Sufinya Rumi, Matsnawi. Pengaruh Rumi, baik dalam gagasan maupun secara tekstual, cukup besar di Barat. Karena semua karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Barat pada tahun-tahun terakhir ini, maka dampaknya semakin besar.
Tetapi jika ia, seperti ProfesorArberry menyebutnya, “benar-benar penyair mistis terbesar dalam sejarah manusia,” maka puisi-puisi sendiri yang di dalamnya begitu banyak memaparkan ajaran-ajarannya, hanya benar-benar bisa diapresiasi dalam bahasa Persia aslinya. Meskipun demikian,
ajaran-ajaran dan metode-metode yang dipergunakan oleh Para Darwis Berputar dan madzhab-madzhab lainnya yang dipengaruhi Rumi, tidaklah terlalu sulit ditemukan, dengan syarat bahwa cara dalam meletakkan kebenaran-kebenaran esoterik tersebut bisa dipahami. Ada tiga dokumen dimana melalui ini karya Rumi bisa dikaji oleh dunia luar.
Kitab Matsnawi-i-Manawi (Sajak-sajak Spiritual) merupakan karya utama Jalaluddin — terdiri dari enam kitab (bagian) puisi dan metafora yang bentuk aslinya memiliki kekuatan sedemikian rupa, sehingga pembacaannya bisa menghasilkan suatu kebahagiaan (spiritual) kompleks secara aneh bagi kesadaran pendengarnya. Karya ini diselesaikan dalam waktu empat puluh tiga tahun. Sebenarnya ia tidak bisa dikritik sebagai karya puisi, sebab mengandung gagasan, bentuk dan penyajian yang pelik dan khas.

 Mereka yang mencari bait konvensional semata di dalamnya, seperti dinyatakan Profesor Nicholson, harus membolak-balik karya tersebut secara cepat. Dan kemudian mereka akan kehilangan pengaruh dari apa yang sesungguhnya merupakan suatu bentuk seni khusus, yang diciptakan Rumi untuk menyampaikan makna-makna, yang oleh Rumi sendiri diakui tidak memiliki padanan sesungguhnya dalam pengalaman manusia biasa.
Mengabaikan pencapaian luar biasa ini sama halnya dengan memilih-milih rasa (makanan) tanpa selai strawberry.
 Karena terlalu menekankan peranan puisi besar dalam lautan Matsnawi, terkadang Nicholson memperlihatkan suatu kesukaan terhadap syair formal. “Matsnawi,” katanya (Introduction, Selection from the Diwan of Shams of Tabriz, hlm. xxxix), “mengandung suatu kekayaan puisi yang mencerahkan. Tetapi para pembacanya harus menempuh jalan melalui apologi,
dialog dan penafsiran-penafslran nash-nash Qur’ani, kepelikan-kepelikan metafisis dan petuah-petuah moral secara bersamaan sebelum mereka memiliki kesempatan menikmati suatu bagian dari kidung murni dan tinggi.
” Bagi Sufi, jika bukan bagi siapa saja, kitab ini berbicara dari suatu dimensi yang berbeda, bahkan suatu dimensi yang bagaimanapun berada di dalam dirinya yang terdalam.

Seperti semua karya Sufi, Matsnawi akan beragam pengaruhnya terhadap pendengarnya sesuai dengan kondisi-kondisi dimana karya ini dikaji. Kitab ini memuat lelucon, fabel, pembicaraan, rujukan kepada para mantan guru dan metode-metode yang bisa mengantarkan pada ekstase (ecstatogenic) — suatu contoh fenomenal dari metode pencerai-beraian,
dimana sebuah gambar disusun dengan multi-dampak untuk memasukkan pesan ke dalam pikiran Sufi. Pesan ini, Rumi maupun semua guru Sufi lainnya, secara parsial disusun sebagai jawaban terhadap lingkungan di mana ia bekerja.
Ia menciptakan tarian dan gerakan-gerakan memutar di kalangan para muridnya.
Menurut riwayat, hal ini disebabkan temperamen lamban dan malas dari orang yang diajarinya.
 Apa yang disebut sebagai variasi doktrin atau tindakan yang ditetapkan oleh berbagai guru Sufi sebenarnya tidak lain merupakan penerapan dari aturan ini. Dalam sistem pengajarannya, Rumi mempergunakan penjelasan dan latihan mental,
pemikiran dan meditasi, kerja dan bermain,
 tindakan dan diam. Gerakan-gerakan “tubuh-pikiran” dari Para Darwis Berputar dibarengi dengan musik tiup untuk mengiringi gerakan-gerakan tersebut, merupakan hasil dari metode khusus yang dirancang untuk membawa seorang Salik mencapai afinitas dengan arus mistis, untuk ditransformasikan melalui cara ini.

 Segala sesuatu yang dipahami oleh orang yang belum tercerahkan (orang biasa) memiliki kegunaan dan makna dalam konteks khusus Sufisme yang mungkin tidak terlihat sampai hal itu dialami.
 “Doa,” ucap Rumi, “memiliki bentuk, suara dan realitas fisiknya.

Segala sesuatu yang memiliki kata (nama), memiliki padanan fisiknya. Dan setiap pemikiran memiliki suatu (bentuk) tindakan.” Salah satu karakteristik yang benar-benar Sufistik dari Rumi adalah bahwa, sekalipun tentu ia akan memberikan pernyataan tegas yang paling tidak populer — bahwa orang biasa, apa pun pencapaian formalnya, tidak dewasa dalam mistisisme — ia juga memberikan kesempatan bagi hampir semua orang untuk mencapai kemajuan menuju penyempurnaan nasib manusia.
Seperti para Sufi yang berada di dalam suatu atmosfir teologis, pertama kali Rumi menunjukkan para pendengar terhadap persoalan agama.
Ia menekankan bahwa bentuk dimana didalamnya merupakan kebiasaan dalam beragama dan bersifat emosional yang dipahami oleh badan-badan (lembaga) terorganisir, tidaklah benar. Tabir Cahaya, yang merupakan penghalang yang diakibatkan oleh sikap pembenaran diri, adalah lebih berbahaya dibanding Tabir Kegelapan, yang dihasilkan didalam pikiran oleh kejahatan. Pemahaman hanya bisa dihasilkan dengan cinta, bukan dengan pelatihan melalui cara-cara terorganisir.
Baginya (Rumi), para guru tertua dari agama-agama adalah benar. Para penerusnya, kecuali sebagian kecil, mengelola persoalan-persoalan itu sedemikian rupa sehingga secara menyeluruh menutup kemungkinan pencerahan.
Sikap ini menuntut suatu pendekatan baru terhadap persoalan-persoalan agama. Rumi memahami seluruh persoalan tersebut di luar saluran normal.

Ia tidak dipersiapkan untuk menyerahkan dogma pada studi dan dalil (argumen). “Agama sejati,” tuturnya, “adalah berbeda dari yang diduga orang. Oleh sebab itu, tidak ada nilainya untuk mengkaji dan menguji dogma.
” “Di dunia ini,” ucapnya, “tidak ada padanan dari hal-hal yang disebut sebagai Arasy (Tuhan), Kitab, Malaikat, Hari Hisab. Perumpamaan digunakan, dan semua itu secara pasti sekadar suatu gagasan kasar tentang sesuatu yang lain.
” Dalam kumpulan ucapan dan ajarannya yang berjudul Fihi Ma Fihi (Di Dalamnya adalah Apa yang Ada di Dalamnya),
 yang digunakan sebagai buku-buku rujukan para Sufi, ia bahkan melangkah lebih jauh. “Manusia,” tuturnya, “melewati tiga jenjang.
 Pada jenjang pertama, ia menyembah apa saja –manusia, perempuan, uang, anak-anak, bumi/tanah dan batu.
 Kemudian, ketika sedikit lebih maju, ia menyembah Tuhan.
Pada akhirnya, ia tidak berkata, ‘Aku menyembah Tuhan,’ maupun, ‘Aku tidak menyembah Tuhan.’
Ia telah melewati tahapan ketiga.” Untuk mendekati jalan Sufi, sang Salik harus menyadari bahwa dirinya, sebagian besar merupakan serangkaian dari apa yang saat ini disebut pengkondisian — gagasan-gagasan kaku dan prasangka, kadang-kadang respon otomatis yang telah terjadi melalui pelatihan orang lain.
Manusia tidaklah sebebas yang diduga. Tahapan pertama bagi seseorang adalah untuk melepaskan diri dari pemikiran bahwa dirinya mengerti dan benar-benar mengerti.

 Tetapi manusia telah diajar, bahwa dirinya bisa memahami melalui proses yang sama, yaitu proses logika.
Ajaran ini telah melemahkannya. Pemahaman agama,
dan hal-hal yang telah diajarkan oleh para tokoh agama besar, merupakan bagian dari Sufisme. Sufisme menggunakan terminologi dari agama biasa, tetapi dengan cara khas yang selalu menyulut kemarahan dari penganut nominalnya.
Secara umum, bagi Sufi,
 masing-masing guru keagamaan menyimbolkan, dalam ibadahnya dan terutama dalam kehidupannya, suatu aspek dari jalan yang totalitasnya adalah Sufisme. “Yesus ada dalam dirimu,” ucap Rumi; “carilah pertolongannya. Dan kemudian, jangan mencari dari dalam dirimu sendiri, dari Musamu,
 kebutuhan bagi seorang Fir’aun.” Jalan-jalan keagamaan yang dirintis Sufi itu dinyatakan oleh Rumi ketika ia mengatakan bahwa jalan Yesus adalah perjuangan dengan kesunyian dan mengatasi nafsu. Jalan Muhammad adalah hidup di dalam masyarakat sebagai manusia biasa.
 “Pergilah dengan jalan Muhammad!” tuturnya, “tetapi jika engkau tidak mampu, maka pergilah dengan jalan Kristiani!” Di sini Rumi bukan berarti menyeru pendengarnya untuk memeluk salah satu dari agama ini.
 Ia sesungguhnya menunjukkan jalan-jalan di mana di dalamnya sang Salik bisa menemukan pencerahan melalui pemahaman.

Sufi menghargai terhadap jalan-jalan yang dikandung, pada Yesus dan Muhammad. Demikian juga, ketika Sufi berbicara tentang Tuhan, ia tidak memaksudkan ketuhanan dalam pengertian sebagaimana dipahami oleh seorang yang telah dilatih oleh teolog.
Tuhan (dalam pengertian teologis) ini diterima oleh sebagian orang, yakni orang yang saleh; ditolak oleh yang lain, yakni para atheis. Bahkan ia merupakan suatu penolakan, atau penerimaan terhadap sesuatu yang telah diberikan oleh kalangan skolastik dan kependetaan.
Tuhan para Sufi tidak dilihat dalam kontroversi ini; sebab bagi Sufi, Tuhan merupakan persoalan pengalaman pribadi. Semua ini tidak berarti bahwa seorang Sufi berusaha membuang pelatihan fakultas penalaran.
 Rumi menjelaskan bahwa akal adalah esensial, tetapi ia memiliki tempatnya tersendiri.
“jika engkau ingin membuat baju, kunjungilah penjahit, maka akal akan mengatakan kepadamu penjahit mana yang dipilih. Akan tetapi, setelah itu akal harus menahan diri. Engkau harus memberikan kepercayaan penuh kepada penjahit bahwa akan menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan benar.” “Logika,” kata Rumi, “membawa seorang pasien ke dokter.
Setelah itu, secara utuh ia berada di tangan sang dokter.” Tetapi seorang materialis yang terlatih baik,
 meskipun ia mengaku bahwa dirinya ingin mendengar apa yang bisa dikatakan seorang mistikus kepadanya, tidak bisa diberitahu semua kebenaran.

 Ia tidak akan mempercayainya. Kebenaran tidak didasarkan materialisime lebih daripada logika. Disinilah mistiskus bekerja dengan serangkaian ranah yang berbeda, sementara seorang materialis hanya pada satu ranah.
Akibat dari hubungan mereka pastilah bahwa Sufi bahkan akan tampak tidak konsisten dalam pandangan materialis. Jika pada hari ini ia mengatakan sesuatu yang dikatakannya secara berbeda dengan hari kemarin, ia akan tampak sebagai pembohong. Paling tidak,
situasi yang berada pada tujuan-tujuan yang berseberangan akan merusak setiap kesempatan untuk maju dengan sikap saling memahami. “Mereka yang tidak memahami suatu hal,” ucap Rumi, “akan mengatakan bahwa hal itu tidak berguna. Tangan dan alat adalah bagaikan batu dan baja.
Pukullah batu dengan tanah.
Apakah percikan api akan terjadi?” Salah satu alasan mengapa Sufi tidak mengajar secara umum adalah karena agamawan yang telah terkondisikan, atau seorang materialis, tidak akan memahaminya: Seekor burung rajawali raja bertengger di sebuah reruntuhan bangunan yang dihuni oleh burung-burung hantu.
 Mereka berpendapat bahwa rajawali itu datang untuk mengusir mereka dari rumahnya dan untuk ditempatinya sendiri. “Reruntuhan ini tampak mewah bagi kalian.

Bagiku, tempat yang lebih baik adalah di tangan Raja,” tutur si rajawali. Sebagian burung hantu tersebut berteriak, “Jangan mempercayainya. Ia menggunakan tipuan untuk mengambil rumah kita!” Penggunaan dongeng dan ilustrasi seperti fabel di atas sangat luas di kalangan para Sufi, dan Rumi dikenal sebagai pakarnya.
 Pemikirannya yang sama seringkali disampaikan oleh Rumi dalam banyak bentuk,
agar bisa dipahami pikiran.
Para Sufi mengatakan bahwa suatu idea akan memasuki pikiran yang terkondisikan (tertabiri) hanya jika ia disusun begitu baik sehingga mampu melewati dinding kondisional.
Kenyataan bahwa non-Sufi sangat sedikit memiliki kesamaan dengan Sufi itu berdasar pada yang ada dalam setiap diri manusia, dan yang tidak seluruhnya bisa dimatikan oleh bentuk pengondislan apa pun.

Unsur-unsur inilah yang mendasari perkembangan Sufi. Salah satu unsur dasar dan permanen adalah unsur cinta.
Cinta merupakan faktor yang akan membawa seseorang dan semua orang, pada pencerahan:
“Panasnya ruang pembakaran mungkin terlalu berat bagimu untuk bisa mengambil manfaat dari pengaruh panasnya; sementara nyala api yang lebih lemah dari sebuah lampu bisa memberikan tingkatan panas yang engkau butuhkan.” Setiap orang, ketika mencapai jenjang tertentu karena kemampuan yang semata-mata bersifat personal, mengira bahwa ia bisa menemukan jalan menuju pencerahan melalui dirinya sendiri. Anggapan ini ditolak oleh para Sufi,
sebab mereka mempertanyakan bagaimana seseorang bisa menemukan sesuatu sementara ia tidak tahu apa sebenarnya sesuatu tersebut.
 “Setiap orang menjadi pencari emas,” ucap Rumi, “tetapi orang awam tidak mengetahuinya ketika ia melihatnya.

Jika Anda tidak bisa mengenalinya, bergabunglah dengan orang bijak.” Orang awam, karena mengira ia berada di jalan pencerahan, seringkali hanya melihat pantulannya. Sinar mungkin bisa dipantulkan ke dinding;
dinding tersebut merupakan tempat bagi sinar. “Jangan tempelkan dirimu ke batu-bata dari dinding itu, tetapi carilah (cahaya) asli yang abadi!” “Air membutuhkan suatu perantara, sebuah tungku, antara tungku dan api itulah air dipanaskan dengan benar.” Bagaimana cara seorang Salik menemukan tugasnya dalam mencari jalan yang benar? Pertama, ia tidak boleh mengabaikan kerja dan harus tetap “hidup” di dunia.
 “Jangan menyerah dan berhenti kerja!” perintah Rumi. Sungguh, “Khazanah yang engkau cari berasal darinya.” Ini merupakan satu alasan mengapa semua Sufi harus memiliki sebuah kegiatan konstruktif Meskipun demikian,
kerja bukan saja kerja biasa atau bahkan kreativitas yang bisa diterima secara sosial.
Ia meliputi kerja-diri; alkimia menjadikan seseorang berkepribadian sempurna: “Wool di tangan seorang yang berpengetahuan, menjadi permadani. Tanah menjadi istana.
 Kehadiran manusia spiritual menciptakan perubahan serupa.” Pada awalnya seorang yang bijak merupakan pembimbing seorang murid. Segera setelah memungkinkan, guru ini melepaskan si murid, sebagai orang yang memperoleh hikmahnya sendiri, dan kemudian ia melanjutkan kerja-dirinya. Para guru palsu dalam Sufisme, sebagaimana di mana saja, tidaklah sedikit.
 Maka para Sufi dihadapkan pada situasi aneh, sebab sementara guru palsu bisa jadi tampak seperti asli (karena ia berusaha keras untuk berpenampilan seperti yang diinginkan muridnya), sedangkan Sufi sejati seringkali tidak seperti apa yang dikira oleh Salik yang belum terlatih dan belum bisa membedakan.

Rumi mengingatkan, “Jangan menilai seorang Sufi sebagai seseorang yang bisa dilihat, sobat. Berapa lama, seperti seorang anak kecil, engkau hanya lebih menyukai kacang dan roti?” Guru palsu sangat memperhatikan penampilan,
dan mengetahui bagaimana membuat seorang murid mengira bahwa ia adalah orang besar, bahwa ia memahaminya, bahwa dirinya memiliki rahasia-rahasia besar yang akan diungkap. Seorang Sufi memiliki banyak rahasia, tetapi ia harus menjadikan rahasia-rahasia tersebut berkembang dalam diri murid.
 Sufisme merupakan sesuatu yang diberikan kepadanya.
Guru palsu akan menjaga para pengikutnya agar tidak menjauh dari dirinya untuk selamanya, tidak mengatakan kepada mereka, bahwa mereka tengah diberikan latihan yang harus berakhir secepat mungkin,
sehingga mereka bisa merasakan perkembangan mereka sendiri dan melanjutkan hidup sebagai orang-orang yang tercerahkan. Rumi menyeru kepada para skolastik, teolog dan pengikut guru palsu, “Kapan kalian berhenti menyembah dan mencintai timbanya?
Kapan kaki mulai mencari airnya?”
Hal-hal lahiriah merupakan sesuatu yang biasanya dinilai oleh kebanyakan orang. “Ketahuilah perbedaan antara warna anggur dan warna gelasnya.” Sufi harus mengikuti semua rutinitas pengembangan-diri;
sebaliknya semata-mata konsentrasi terhadap salah satunya akan menyebabkan ketimpangan, yang bisa membawa pada kerugian.
Laju pengembangan setiap orang berbeda-beda. “Sebagian,” ucap Rumi, “memahami semuanya hanya dengan membaca sebuah baris (ajaran). Yang lain, yang benar-benar telah hadir pada suatu peristiwa, mengetahui semua tentang hal itu.

Kemampuan pemahaman berkembang bersama kemajuan spiritual seseorang.” Meditasi-meditasi Rumi meliputi beberapa gagasan yang mencolok, yang dirancang untuk membawa Salik ke dalam suatu pemahaman tentang kenyataan bahwa secara temporer ia berada di luar hubungan dengan realitas utuh, meskipun kehidupan biasa tampak sebagai totalitas dari realitas itu sendiri.
Apa yang kita lihat, apa yang kita rasakan dan alami dalam kehidupan wajar dan belum tercerahkan, menurut pemikiran Sufistik, hanyalah sebagian dari keseluruhan yang besar.
Ada dimensi-dimensi yang hanya bisa dicapai melalui upaya keras. Seperti bagian gunung es yang tampak di permukaan, keseluruhan badan gunung itu ada di sana, meskipun tidak terlihat di bawah kondisi-kondisi wajar.
Jika seperti gunung es realitas tersebut jauh lebih besar dari yang biasa diduga oleh pengamatan superfisial. Rumi mempergunakan berbagai analogi untuk menjelaskan hal ini.
Salah satu paling mengejutkan adalah teorinya tentang tindakan.
 Katanya, ada sesuatu yang disebut sebagai tindakan komprehensif, dan juga ada tindakan individual.
Kita terbiasa melihat, dalam indera dunia biasa, semata tindakan individu. Semisal, sejumlah orang sedang membuat sebuah tenda. Sebagian menjahit, yang lain mempersiapkan tali, sebagian lagi menenun.
Mereka semua ikut ambil bagian dalam suatu tindakan komprehensif, meskipun masing-masing tampak sebagai tindakan individual.

 Jika kita berpikir tentang pembuatan tenda, hal itu adalah tindakan komprehensif dari keseluruhan kelompok, dimana itulah yang penting. Dalam arah-arah tertentu, para Sufi menyatakan, kehidupan harus dipandang sebagai keseluruhan, demikian juga secara individual.
Hal ini sesuai dengan keseluruhan rencana, tindakan komprehensif dalam kehidupan, sangatlah mendasar bagi pencerahan.
Sedikit demi sedikit, di saat pengalamannya meningkat, Sufi mulai membentuk kembali pemikirannya selaras dengan garis ini.
Sebelum ia benar-benar memiliki pengalaman mistisisme, ia adalah seorang yang lugu, tidak terlibat, atau memiliki suatu idea yang secara menyeluruh khayali tentang sifat dasar pengalaman tersebut, terutama tentang Guru dan jalan (Tarekat).
Rumi memberikan kepadanya meditasi-meditasi yang dirancang untuk mengatasi perkembangan berlebihan dari idea-idea tertentu yang mengalir deras di kalangan orang yang belum memperoleh pengajaran (Sufistik).
Manusia mengharap diberi sebuah kunci emas. Tetapi sebagian lebih cepat berkembang dari yang lain.
Seorang yang bepergian melewati kegelapan itu masih bisa disebut sedang bepergian.
Sang murid akan belajar (sesuatu) ketika ia tidak mengetahui bahwa dirinya tengah belajar, dan sebagai hasilnya ia mungkin akan terlumuri (pengetahuan). Di musim dingin, Rumi mengingatkan, sebuah pohon tengah mengumpulkan makanan.
Orang mungkin mengira bahwa pohon tersebut bermalas-malasan, sebab mereka tidak melihat sesuatu yang terjadi.
Tetapi di musim semi mereka melihat untaian-untaian bunga. Sekarang, pikirnya, ia tengah bekerja. Ada waktunya untuk mengumpulkan dan ada waktunya untuk mengeluarkannya.
Hal ini membawa subyek kembali pada ajaran: “Pencerahan harus datang sedikit demi sedikit — jika tidak, tak terbendung”.

Sarana-sarana skolastisisme, yang digunakan sebagai latihan bagi para Sufi, digantikan oleh pelatihan esoterik, dan hal ini harus dilakukan sesuai dengan kapasitas murid.
Alat-alat pandai besi, ucap Rumi, “di tangan tukang tambal sepatu adalah seperti benih yang ditabur ke dalam pasir.
 Dan alat-alat tukang tambal sepatu di tangan petani adalah seperti jerami yang ditawarkan kepada anjing, atau tulang yang diberikan pada keledai.” Sikap terhadap konvensi-konvensi biasa dalam kehidupan mengalami suatu pengujian.
Persoalan jeritan batin manusia dipandang, bukan seperti sebuah kebutuhan Freudian, tetapi sebagai sesuatu instrumen alamiah yang melekat pada pikiran untuk memungkinkannya mencapai kebenaran. Rumi mengajarkan bahwa manusia sebenarnya tidak mengetahui apa yang mereka inginkan.
Jeritan batinnya dinyatakan dalam ratusan keinginan yang mereka duga sebagai kebutuhan mereka.
 Namun hal ini bukanlah hasrat mereka sesungguhnya, sebagaimana pengalaman memperlihatkan.
 Karena ketika tujuan-tujuan ini tercapai, jeritan tersebut tidak berhenti.
Rumi pastilah melihat Freud sebagai seorang yang terobsesi oleh salah satu perwujudan sekunder dari jeritan besar tersebut; bukan sebagai seorang yang telah menemukan dasar jeritan itu.

Demikian juga, orang-orang tampak jahat dalam pandangan seseorang — tetapi bagi lainnya mereka mungkin terlihat baik. Hal ini disebabkan dalam satu pikiran terdapat idea ketidakpuasan, sementara pada lainnya terdapat pandangan kebaikan. “Ikan dan kail kedua-duanya sama-sama hadir.” Sufi mempelajari kekuatan pelepasan-diri,
kemudian diikuti kekuatan mengalami apa yang ia pertimbangkan, tidak sekadar melihatnya.
Untuk melakukan hal ini, ia diperintahkan gurunya untuk merenungkan peringatan Rumi, “Orang yang kenyang dan kelaparan tidak melihat hal yang sama ketika kedua-duanya melihat sepotong roti.” Jika seseorang sangat tidak terlatih sehingga ia dipengaruhi oleh kebiasaannya sendiri, ia tidak bisa berharap untuk bisa mempunyai banyak kemampuan.
Rumi memusatkan pada kontrol pengembangan; kontrol melalui pengalaman, bukan semata-mata melalui teori tentang yang baik dan buruk, benar atau salah.
Teori ini masuk dalam kategori kata-kata, “Kata-kata, dalam dirinya sendiri, tidaklah penting. Anda memperlakukan seorang tamu dengan baik, dan berbicara beberapa patah kata yang lembut kepadanya, karenanya ia bahagia.
 Tetapi jika Anda memperlakukan orang lain dengan menggunakan beberapa patah kata dengan kasar, ia akan merasa sakit.
Bisakah beberapa patah kata tersebut bermakna kebahagiaan atau kesedihan? Ini merupakan faktor-faktor sekunder, dan bukan faktor sesungguhnya.

 Kata-kata mempengaruhi orang yang lemah.” Murid Sufi berkembang melalui berbagai latihan dalam melihat segala hal dengan cara pandang baru. Ia juga berbuat,
bertindak dengan cara berbeda dalam suatu situasi tertentu daripada yang seharusnya ia lakukan.
Ia memahami makna yang lebih mendalam karena anjuran-anjuran sebagai berikut, “Ambillah mutiaranya, bukan kulitnya! Engkau tidak akan menemukan sebuah mutiara di setiap kulit.
Sesosok gunung jauh lebih besar dari sesosok batu mirah.” Apa yang tampak lazim bagi orang pada umumnya, mungkin berlalu di atas dasar sebuah kebijakan dan dipandang sebagai biasa,
secara mendalam menjadi penuh makna bagi Sufi yang dalam intensitasnya menemukan hubungan dengan sesuatu yang disebutnya sebagai “yang lain” — faktor dasar yang sedang dicarinya. “Apa yang tampak sebuah batu bagi orang biasa,” lanjut Jalaluddin Rumi, “adalah mutiara bagi sang Alim.” Kini kehalusan pengalaman spiritual tampak sekilas bagi sang Salik.
Jika ia seorang pekerja kreatif, ia memasuki jenjang itu ketika inspirasi kadangkala masuk ke dalam dirinya, tetapi tidak pada waktu yang lain.

Jika ia rentan terhadap pengalaman ekstatik, akan menemukan bahwa perasaan penuh makna yang membahagiakan dalam keutuhan itu datang secara singkat sehingga ia tidak mampu mengendalikannya. Rahasia melindungi dirinya sendiri. “Pusatkan perhatian pada spiritualitas seperti yang engkau inginkan –ia akan membutakan dirimu jika engkau tidakmampu melihatnya.
Tulislah hal ini, bicarakan dan ulaslah — ia akan gagal untuk memberikan manfaat kepadamu: ia akan terbang. Namun, jika rahasia itu menyentuh pusat pikiranmu, ia mungkin datang ke tanganmu, seperti seekor burung yang jinak.
Layaknya burung merak, ia tidak akan hinggap di tempat yang tidak layak.” Hanya ketika telah melampaui jenjang perkembangan inilah, seorang Sufi bisa menyampaikan sesuatu tentang jalan itu kepada orang lain.
Jika ia mencobanya sebelum melampaui jenjang tersebut, “Ia akan lenyap”. Di sini juga letak arti penting suatu keseimbangan halus antara (keadaan-keadaan) ekstrim yang sangat mendasar itu, atau keseluruhan upaya itu akan sia-sia. “Pikiran Anda sebagai jaring itu begitu halus,” tutur Rumi. Ia harus disesuaikan dengan tepat agar bisa menangkap sasarannya. Jika ada kesedihan, jaring itu terkoyak.

Jika terkoyak, ia tidak berguna. Karena cinta yang terlalu besar, begitu pula karena penentangan yang terlalu besar, jaring itu terkoyak.
 “Jangan lakukan keduanya!” Lima indera batin mulai berfungsi jika kehidupan batin individu dibangkitkan.
 Makanan batiniah yang dibicarakan oleh Rumi itu mulai mempengaruhinya. Indera-indera batin bagaimanapun menyerupai indera-indera lahiriah, tetapi “perbandingan indera batin dengan indera lahiriah seperti emas dan tembaga”. Karena setiap individu mempunyai kemampuan yang berbeda, para Sufi pada jenjang ini mengembangkan dengan cara-cara tertentu.
 Adalah biasa bagi sejumlah fakultas batin dan berbagai kemampuan khusus untuk berkembang secara bersamaan dan harmonis.
Berbagai perubahan kepekaan batin itu mungkin terjadi, tetapi perubahan itu sama sekali berbeda dengan perubahan batin dari orang-orang yang belum berkembang menuju kepribadian sejati.

Kekasaran batin orang-orang awam ini digantikan oleh perubahan dan interaksi dari cita rasa yang lebih tinggi, dimana cita rasa yang lebih rendah dipandang sebagai refleksi semata.
Konsepsi Sufi tentang hikmah dan kebodohan mengalami suatu perubahan.
Rumi memahaminya sebagai berikut, “Jika seseorang benar-benar bijaksana dan tidak memiliki kebodohan, ia akan dihancurkan oleh kebijaksanaannya sendiri.
Oleh karena itu, kebodohan bisa dihargai, sebab ia berarti bagi kelangsungan eksistensi.
Kebodohan dalam perubahan ini merupakan kolaborator hikmah, sebagaimana malam dan siang saling melengkapi.” Bekerjanya hal-hal yang bertentangan secara bersamaan merupakan tema penting lain dalam Sufisme.
Ketika pertentangan nyata bisa didamaikan, individualitas bukan saja utuh, ia juga bisa melampaui ikatan-ikatan manusia awam sebagaimana kita memahaminya. Individu itu, selama kita bisa menyatakannya sedekat mungkin, sangatlah kuat.
Apa makna pernyataan ini dan bagaimana terjadinya adalah persoalan-persoalan dari pengalaman pribadi, di luar dunia penulisan semata.

 Rumi mengingatkan kita pada lain tempat, dalam ucapannya yang tertulis dengan kata-kata: “Kitab sang Sufi bukanlah huruf-huruf yang kelam, kitabnya seputih kalbu.” Sekarang sang Sufi mempunyai pandangan batin tertentu yang terkait dengan perkembangan suatu intuisi yang selalu benar.
Perasaannya terhadap pengetahuan sedemikian rupa, sehingga dengan membaca sebuah kitab, ia bisa membedakan fakta dan fiksi, tujuan sejati penulisnya dari unsur-unsur lainnya.
Kalangan yang secara khusus terancam oleh kemampuan ini adalah para peniru yang mengaku sebagai Sufi. Sementara orang yang mempunyai intuisi itu akan mempunyai kemampuan tembus pandang.
Bahkan pengertiannya tentang keseimbangan memperlihatkan kepadanya betapa jauh si peniru itu dari tujuan Sufisme. Rumi mengulas fungsi ini dalam Matsnawi. Ajaran ini secara setia disampaikan pula oleh para guru Sufi ketika mereka menemukan bahwa murid telah mencapai jenjang ini: “Peniru itu seperti penyalur.
Ia sendiri tidak minum, tetapi ia mungkin bisa memindahkan air kepada orang yang kehausan.” Karena telah mengalami kemajuan di jalan itu, Sufi menyadari betapa rumit dan berbahayanya jalan itu jika tidak dijalankan sesuai dengan metode yang telah dikembangkan selama berabad-abad.
Dengan menggunakan fabel, Matsnawi mencatat jenjang dari pengalaman ini. Seekor singa memasuki sebuah kandang, memangsa seekor sapi yang tinggal di dalam kandang itu, lalu ia duduk ditempat si sapi.

Kandang itu gelap, si pemilik sapi masuk dan mencari-cari sapinya. Tangannya meraba-raba tubuh singa itu. Si singa berkata dalam hati, “Jika ada cahaya, pastilah ia akan mati ketakutan.
Ia menyentuhku hanya karena menduga bahwa aku adalah sapinya.” Jika fabel ini dibaca sebagai cerita biasa, penggambarannya yang singkat dan menarik ini mungkin dipahami sebagai sejenis orang bodoh yang terburu-buru masuk ke tempat di mana para malaikat sendiri takut merambahnya.
Pemahaman terhadap makna sejati di balik berbagai peristiwa duniawi yang tidak bisa dijelaskan secara nalar itu merupakan konsekuensi lain dari perkembangan Sufi.
Sebagai contoh, mengapa tahapan tertentu dalam studi mistis menuntut seseorang lebih lama dari lainnya, meskipun ia sebenarnya melaksanakan rutinitas yang sama? Rumi menggambarkan pengalaman dan satu dimensi khusus dalam kehidupan yang menutupi fungsi aktualitas secara utuh dan memberikan suatu pandangan yang tidak memuaskan kita dari keseluruhan itu.
 “Dua pengemis,” katanya, “mendatangi sebuah rumah. Salah satunya segera merasa puas setelah diberi sepotong roti. Ia pun pergi. Sementara pengemis kedua tetap menunggu bagiannya. Mengapa? Pengemis pertama itu tidak disukai, ia diberi roti basi dan hambar.

 Pengemis kedua diminta menunggu sampai sepotong roti segar selesai dimasak untuknya.” Cerita ini menggambarkan suatu tema yang terjadi berulangkali dalam ajaran Sufi, bahwa seringkali ada satu unsur dalam sebuah peristiwa yang tidak bisa diketahui.
Akibatnya kita mendasarkan pendapat kita pada bahan yang tidak utuh. Adalah keajaiban kecil jika orang yang belum tercerahkan mengembangkan dan memberikan suatu “pandangan kilas” yang berlangsung dengan sendirinya.
 “Engkau dikuasai oleh dunia dimensi,” senandung Rumi dalam sebuah syairnya, “tetapi engkau berasal dari dunia non-dimensi. Tutuplah yang pertama dan bukalah yang kedua!” Seluruh kehidupan dan setiap ciptaan dipandang dalam suatu bentuk baru dan komprehensif Dengan menggunakan metafor Matsnawi, pekerja “tersembunyi di dalam ruang kerjanya”, bersembunyi dalam kerjanya untuk merenda jaring-jaring dirinya. Ruang kerjanya adalah tempat pandangannya.

Di luar tempat ini adalah kegelapan. Posisi Sufi sebagai orang yang mempunyai pandangan batin lebih dalam tentang persoalan-persoalan dunia dan keseluruhan serta saling bertentangan, merupakan potensi kekuatan diri yang sangat besar.
Tetapi ia hanya bisa melakukan hal ini dalam hubungannya dengan seluruh makhluk — pertama dengan sesama Sufi, kemudian dengan manusia secara umum dan akhirnya dengan semua makhluk.
Kekuatan dan keberadaannya berkaitan dengan serangkaian hubungan baru.
Orang-orang datang kepadanya dan ia menyadari bahwa bahkan mereka yang ingin mencemoohkan dirinya sangat mungkin datang untuk belajar sesuatu daripada sekadar menilai dirinya.
Ia memandang sejumlah besar peristiwa sebagai suatu jenis pertanyaan dan jawaban. Suatu kunjungan kepada seorang yang Tercerahkan dipandangnya sebagai pendekatan, “Ajarilah aku!” Betapapun laparnya suatu pertanyaan, tetap saja sebuah pertanyaan. “Kirimkan makanan!” Mencegah diri untuk tidak makan merupakan jawaban, suatu jawaban negatif.

 Sebagaimana Rumi menyimpulkan bagian ini, jawaban untuk seseorang yang bodoh adalah diam. Ia mampu memberikan sebagian pengalaman mistiknya kepada orang-orang tertentu, sebagian muridnya dan orang yang dituntun oleh pengalaman masa lalu mereka untuk perkembangan semacam itu.
Hal ini terkadang dilakukan melalui latihan-latihan konsentrasi dan prakteknya mungkin berkembang ke dalam pengalaman mistik yang sesungguhnya.
Rumi berkata kepada para muridnya, “Pada mulanya pencerahan datang kepadamu dari orang-orang yang Tercerahkan.
Ini adalah suatu tiruan. Namun ketika hal itu datang berulang kali, ini adalah pengalaman tentang kebenaran.” Selama tahap pencariannya, seorang Sufi mungkin sering terlihat tidak memperdulikan perasaan orang lain, atau berada di luar aktivitas masyarakat.
Jika demikian, hal ini karena ia telah melihat karakter sejati dari suatu situasi, di balik situasi lahiriah yang hanya terlihat secara parsial bagi orang lain.
Ia berbuat dengan cara sebaik mungkin, meskipun tidak selalu mengetahui mengapa ia mengatakan atau melakukan sesuatu.
Dalam Fihi Ma Fihi, Rumi memberikan ilustrasi tentang situasi itu. Seorang pemabuk melihat seorang Raja lewat dengan menunggang kuda yang sangat mahal harganya.

Ia mencemooh kuda itu. Sang Raja marah dan memanggilnya untuk menghadap kepadanya. Orang itu menjelaskan, “Saat itu seorang pemabuk sedang berdiri di atas atap. Aku sekarang bukan dia, sebab dia telah pergi.” Sang Raja puas dengan jawaban ini dan memberikan hadiah kepadanya.
Pemabuk itu adalah sang Sufi dan orang yang sadar itu juga adalah dirinya. Dalam hubungannya dengan realitas sejati, sang Sufi telah bertindak dengan cara tertentu. Akibatnya ia diberi hadiah. Ia juga melaksanakan suatu fungsi ketika menjelaskan kepada Raja bahwa orang tidak selalu bertanggung jawab atas berbagai tindakannya.
Ia juga telah memberikan kesempatan kepada Raja untuk melakukan perbuatan baik.
Tidak ada anggur yang matang menjadi mentah kembali. Evolusi manusia tidak dapat dihentikan. Meskipun demikian evolusi ini bisa diarahkan dan dicampuradukkan oleh mereka yang tidak mengetahui apa sesungguhnya intuisi itu.

Dengan demikian ajaran-ajaran Sufisme bisa diselewengkan dan seorang yang telah Tercerahkan juga bisa dihubungi jika ia membiarkan dirinya terlalu sering terlihat secara terbuka oleh orang kebanyakan.
Sebab untuk mengajarkan masalah Sufistik kepada orang luar, seperti guru Sufi lainnya, Rumi selalu menyerukan: Ketika lentera batin permata masih menyala, Potonglah segera sumbu atasnya dan berilah minyak.
Namun ia sepakat dengan para guru lainnya yang menolak untuk membicarakan mistik kepada setiap orang, “Panggillah kuda-kuda ke tempat yang tidak berumput, mereka pun akan mempertanyakannya.” — tidak menjadi soal apa pertanyaannya itu. Para Sufi menentang kalangan intelektual murni dan para pemikir skolastik, karena mereka percaya bahwa pelatihan pikiran dengan cara obsesif dan satu jalur pemikiran semacam itu justru membahayakan pikiran.

Demikian pula, mereka sangat menentang orang-orang yang mengira bahwa semua persoalan itu bersifat intuitif dan asketis. Padahal Rumi menekankan keseimbangan dari semua kemampuan itu.

Kesatuan pikiran dan intuisi yang akan melahirkan pencerahan dan perkembangan yang dicari oleh para Sufi itu didasarkan pada Cinta — tema yang ditekankan oleh Rumi ini tidak bisa dipaparkan secara lebih baik kecuali melalui berbagai tulisannya sendiri, kecuali jika ia berada di dalam dinding-dinding aktual dari sebuah madzhab Sufi.
Seperti intelektualisme yang bekerja dengan bahan-bahan yang nyata, Sufisme bekerja dengan bahan-bahan yang terlihat dan tidak. Jika ilmu dan skolastisisme selalu mempersempit cakupannya ke dalam bidang kajian yang semakin sempit, maka Sufisme tetap menggunakan setiap bukti kebenaran yang melandasinya, di mana pun hal itu bisa ditemukan.
Kekuatan asimilasi dan kemampuan untuk membangkitkan simbolisme, cerita dan pemikiran dari dasar arus Sufistik ini telah menyebabkan para komentator (bahkan di Timur) merasa sangat kagum dan menjadikan masa lalu sebagai sesuatu yang baru. Mereka menelusuri asal-usul sebuah cerita di India, sebuah pemikiran di Yunani dan sebuah latihan spiritual di kalangan Shaman.

Unsur-unsur ini dengan senang hati mereka himpun di meja, pada akhirnya untuk menyediakan amunisi dalam perjuangan dimana para lawannya adalah di antara mereka sendiri. Atmosfir unik dari madzhab-madzhab Sufi ditemukan dalam Matsnawi dan Fihi Ma Fihi.
Tetapi dua karya ini oleh para eksternalis dianggap membingungkan, kacau dan ditulis secara longgar.
Adalah benar bahwa kedua kitab ini sebagian merupakan pembimbing yang harus digunakan dalam hubungannya dengan ajaran dan praktek Sufi yang sesungguhnya — kerja, pemikiran, kehidupan dan seni.
Namun bahkan seorang komentator yang menerima kenyataan atmosfir ini sebagai sengaja diciptakan dan yang mengulang penilaian Sufi dalam buku, memperlihatkan dirinya sendiri dalam hubungan personal menjadi agak kebingungan terhadap semua hal itu.

 Selain itu harus dikatakan bahwa ia memandang dirinya sebagai seorang Sufi, meskipun tidak diakui oleh metode Sufi mana pun. Di bawah pengaruh orang-orang semacam ini, studi Barat tentang Sufisme dan sekarang dalam periode kebangkitan yang luar biasa, telah menjadi sedikit lebih Sufistik, meskipun ia masih harus menempuh jalan panjang.
“Sufi intelektual” merupakan kegemaran mutakhir di Barat. Sufisme tentu saja mempunyai terminologi teknis yang khas, dan puisi-puisi Rumi kaya akan jenis-jenis umum dan khusus dari istilah-istilah dasar itu. Sebagai contoh,
ia menggambarkan dalam kitab ketiganya, Diwan asy-Syams at-Tabriz, beberapa konsep pikiran dan aktivitas yang diproyeksikan dalam suatu pertemuan rahasia para darwis. Diramu dengan puisi rapsodik (penuh semangat),
ajaran-ajaran Sufi “dalam pemikiran dan tindakan” disampaikan melalui metode yang secara khusus dirancang proyeksinya: Bergabunglah dengan komunitas Sufi, jadilah seperti mereka,
maka lihatlah kebahagiaan dari kehidupan sejati. Pergilah sepanjang jalan yang runtuh dan lihatlah orang-orangyang merana (para pemilik rumah yang runtuh).

Minumlah anggur, agar engkau tidak mempunyai rasa malu.
Tutuplah kedua mata lahirmu, sehingga engkau bisa melihat dengan mata batin. Bukalah kedua tanganmu, jika engkau mengharap pelukan.
Hancurkan berhala bumi untuk melihat wajah banyak berhala.
Mengapa seorang perempuan tua begitu senang menerima sebuah mahar — dan karena tiga potong roti, mengapa engkau menerima kewajiban militer? Sahabat kembali di malam hari; malam ini jangan minum — tutuplah mulutmu dari makanan, hingga engkau memperoleh makanan mulut.
Di Majelis sang Pembawa Cawan yang ramah, berputarlah — masuklah ke dalam lingkaran.
Berapa lama engkau mengitarinya? Inilah tawarannya — tinggalkan satu kehidupan, raihlah keramahan Pengembala… Hentikan pikiran kecuali bagi pencipta pikiran — berpikir tentang

“kehidupan” lebih baik dibandingkan berpikir tentang roti.
Di keluasan bumi Tuhan, mengapa engkau tertidur di sebuah penjara? Abaikan pemikiran-pemikiran rumit — untuk melihat jawaban jawaban yang tersembunyi. Diamlah untuk meraih kalam abadi.
Tinggalkan “kehidupan” dan “dunia” untuk menyaksikan “Kehidupan Dunia”.
Meskipun aktualitas Sufi tidak bisa diuji kemurniannya oleh kriteria yang lebih terbatas dari pemikiran diskursif, puisi ini bisa dilihat sebagai suatu perakitan faktor-faktor utama dalam metode Rumi. Ia mendeskripsikan arti penting komunitas yang dicurahkan untuk memahami realitas, dimana realitas hanyalah sebagai suatu pengganti.

Pengetahuan ini hadir melalui hubungan dengan orang lain, dengan terlibat dalam kegiatan kelompok, begitu pula dalam pemikiran dan kegiatan personal. Suatu yang mendasar hanya hadir jika pola-pola pemikiran tertentu telah direduksi dengan perspektif yang tepat. Sang Salik harus “membuka tangannya” untuk menerima sebuah pelukan, bukan mengharap sebuah pemberian sementara ia berdiri pasif menunggunya. “Perempuan tua yang lemah” adalah semua bentuk pengalaman duniawi sebagai pantulan dari suatu realitas terakhir yang hampir tidak mungkin dibandingkan dengan apa yang tampak sebagai kebenaran.
Untuk “tiga potong roti” dalam kehidupan biasa, orang rela menjual potensialitasnya. Sahabat datang di malam hari — datang, yaitu ketika segala sesuatu masih tinggal dan ketika seseorang tidak tenggelam oleh pemikiran otomatis.
Makanan khas Sufi tidaklah sama dengan makanan biasa; tetapi ia merupakan bagian esensial dari kemanusiaan.
Kemanusiaan berputar-putar di sekitar realitas dalam sebuah sistem yang tidak sejati. Ia harus memasuki lingkaran dan bukannya sekadar mengikuti garisnya.

Hubungan kesadaran sejati dengan apa yang kita pandang sebagai kesadaran itu bagaikan hubungan dari seratus kehidupan dengan satu kehidupan. Beberapa karakteristik kehidupan sebagaimana kita ketahui — karakter pemangsa dan egoisme serta banyak lagi lainnya sebagai penghalang bagi kemajuan — harus dilenyapkan oleh faktor-faktor halus.
Pemikiran non-diskursif adalah metode. Pemikiran harus diarahkan untuk seluruh kehidupan, bukan terhadap aspek-aspeknya semata. Manusia laksana seseorang yang mempunyai pilihan untuk menjelajahi bumi, tetapi ia tertidur di sebuah penjara.
Berbagai kepelikan intelektualisme yang keliru itu menutupi kebenaran.
Sikap diam merupakan awal pembicaraan sejati. Kehidupan batin di dunia dicapai dengan cara mengabaikan pemilahan “kehidupan” dan “dunia”. Ketika Rumi meninggal dunia pada tahun 1273, ia meninggalkan putranya, Bahauddin, untuk melanjutkan kepemimpinan Tarekat Mevlevi.

Pada masa hidupnya ia dikelilingi oleh orang-orang dari setiap agama, dan pada waktu pemakamannya dihadiri oleh orang-orang dari segala jenis (kepercayaan).
Seorang Kristen ditanya, mengapa ia menangis begitu pilu atas kematian seorang guru Muslim.
Jawabannya memperlihatkan pandangan Sufi tentang pengulangan ajaran dan penyampaian aktivitas spiritual: “Kami menghargainya seperti Musa, Dawud, Yesus zaman ini.
Kami semua adalah para pengikut dan muridnya.” Kehidupan Rumi memperlihatkan campuran dari ajaran warisan dan pencerahan pribadi yang menjadi pusat Sufisme.
Keluarganya berasal dari keturunan Abu Bakar, sahabat Nabi saw., dan ayahnya masih ada hubungan dengan keluarga dengan Raja Khawarizmi Syah.
Jalaluddin dilahirkan di Balkh, sebuah pusat ajaran kuno pada tahun 1207 dan dalam legenda Sufi dinyatakan bahwa, telah diramalkan oleh para mistikus Sufi, ia akan meraih masa depan gemilang.

Raja Balkh di bawah pengaruh orang-orang skolastik, berbalik menentang para Sufi, terutama menentang kerabat ayah Rumi. Seorang guru Sufi ditenggelamkan di Sungai Oxus atas perintah Syah.
Hukuman ini membayangi invasi orang-orang Mongol dimana Najmuddin al-Kubra, seorang pemimpin Sufi terbunuh di medan tempur. Najmuddin inilah pendiri Tarekat Kubrawiyah yang berkaitan erat dengan perkembangan Rumi.
Penghancuran Asia Tengah oleh tentara-tentara Jengis Khan telah menyebabkan tercerai-berainya para Sufi Turkistan. Ayah Rumi mengungsi bersama putranya ke Nisyapur di mana mereka bertemu dengan guru besar lainnya dari aliran Sufi yang sama, sang penyair Aththar, yang secara “spiritual” menganugerahi putranya dengan barakah Sufi. Ia menghadiahi Rumi sebuah salinan kitabnya, Asrar-Namah (Book of Secrets). Kitab ini ditulis dalam bentuk puisi.

Tradisi Sufi mengatakan bahwa karena potensi spiritual Jalaluddin muda telah dikenali oleh para guru di zamannya, maka perhatian mereka untuk melindungi dan mendidiknya menjadi motif bagi perjalanan kelompok pengungsi itu. Mereka meninggalkan Nisyapur dengan kata-kata kewalian Aththar yang terngiang dalam telinga mereka, “Anak ini akan memercikkan api kemuliaan dan keagungan suci bagi dunia. ” Kota itu tidak aman.
Seperti Najmuddin, Aththar menunggu gilirannya menuju ke-syahid-an yang diterimanya dari tangan orang-orang Mongol tidak lama setelah itu.
Kelompok Sufi dengan pemimpin mudanya itu sampai ke Baghdad di mana mereka mendengar penghancuran Balkh dan pembantaian penduduknya. Selama beberapa tahun mereka mengembara, menunaikan ibadah Haji ke Mekkah, kembali menuju utara ke Syria dan Asia Kecil, mengunjungi pusat-pusat Sufi. Asia Tengah terpecah-belah karena serangan orang-orang Mongol yang tiada henti-hentinya, dan setelah tegak kurang dari enam abad, peradaban Islam tampaknya menjelang keruntuhannya.

Pada akhirnya ayah Rumi mendirikan pusat kegiatannya tak jauh dari Konia, yang terkait dengan nama St. Paul. Pada saat itu, kota itu berada di tangan penguasa Seljuk dan Raja Seljuk mengundang Jalaluddin untuk tinggal di sana. Ia menerima sebuah jabatan profesional dan melanjutkan mengajar putranya tentang rahasia-rahasia Sufi.
Jalaluddin juga berhubungan dengan Guru Terbesar (asy-Syekh al Akbar), penyair dan seorang guru dari Spanyol, yaitu Ibnu Arabi yang pada waktu itu berada di Baghdad. Hubungan itu terjadi melalui Burhanuddin, salah seorang guru Rumi yang melakukan perjalanan ke kawasan Seljuk untuk menemui ayah Rumi yang baru saja meninggal. Karena menggantikannya sebagai pembimbing Rumi, ia membawanya ke Aleppo dan Damaskus. Ketika usianya mencapai empat puluh tahun, Rumi memulai pengajaran mistiknya secara semi-publik.

Seorang darwis misterius, “Syamsuddin at-Tabrizi” mengilhaminya untuk menghasilkan sejumlah besar puisinya yang terbaik dan untuk meramu ajaran-ajarannya dengan cara dan bentuk yang dirancang untuk mempertahankan keseluruhan Tarekat Mevlevi. Karyanya telah diselesaikan dan darwis misterius itu lenyap setelah masa sekitar tiga tahun dan tidak ada lagi jejak tentang dirinya yang bisa dilaporkan.
“Utusan dari dunia tak dikenal” ini oleh putra Rumi disepadankan dengan Khidr yang misterius, pembimbing dan pelindung para Sufi yang muncul kemudian berlalu dari kognisi normal setelah menyampaikan pesannya. Selama masa inilah Rumi menjadi seorang penyair. Baginya, meskipun ia diakui sebagai salah satu penyair terbesar Persia, puisi hanya suatu produk sekunder. Ia memandangnya tidak lebih dari suatu refleksi realitas batin yang besar dan merupakan kebenaran serta disebutnya sebagai refleksi dari Cinta. Cinta terbesar, tuturnya, adalah keheningan dan tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Meskipun puisinya mempengaruhi pikiran manusia sedemikian kuat, sehingga hanya bisa disebut sebagai kekuatan magis, ia tidak pernah terbawa olehnya sampai pada tingkatan mengidentifikasikan puisi itu dengan wujud yang jauh lebih besar, dimana puisi hanyalah ekspresi yang lebih kecil. Pada saat yang sama, ia mengakuinya sebagai sesuatu yang bisa membangun jembatan antara apa “yang benar-benar ia rasakan” dengan apa yang bisa ia lakukan untuk orang lain. Dengan memakai metode Sufistik untuk mendapatkan perspektif tentang sesuatu, bahkan dengan resiko menghancurkan gagasan-gagasan yang paling mendasar, ia sendiri mengambil peranan kritik sastra. Orang-orang datang kepadanya dan ia mencintai mereka.

Dalam rangka memberikan sesuatu kepada mereka agar bisa memahami, ia memberikan puisi kepada mereka. Tetapi puisi itu untuk mereka, bukan untuk dirinya, betapapun ia sebagai penyair besar — “Di atas segalanya, apakah peduliku dengan puisi?” Untuk menekankan pesan itu, dimana hanya seorang penyair dengan reputasi kontemporer terbesar yang berani melakukannya, ia menyatakan secara kategoris bahwa jika dibandingkan dengan realitas sejati, maka dirinya tidak punya waktu untuk menulis puisi. “Ini hanyalah nutrisi,” katanya, “yang bisa diterima pengunjungnya,” maka seperti tuan rumah yang baik, ia menyuguhkannya. Seorang Sufi tidak akan pernah membiarkan sesuatu berdiri sebagai penghalang antara apa yang ia ajarkan dengan mereka yang sedang mempelajarinya. Di sinilah penekanan Rumi terhadap peranan subsider puisi dalam hubungannya dengan pencarian sejati.
Sebenarnya apa yang ingin disampaikannya berada di luar jangkauan puisi. Bagi orang yang pikirannya telah terkondisikan oleh kepercayaan bahwa tidak ada sesuatu pun yang lebih sublim dari ungkapan puitis, maka perasaan semacam ini mungkin bisa mengakibatkan keterkejutan hebat. Hanya aplikasi dampak inilah yang perlu bagi tujuan Sufi dalam membebaskan pikiran dari ikatan fenomena sekunder, “berhala-berhala”. Sebagai pewaris ayahandanya, Rumi sekarang memproyeksikan ajaran-ajaran mistisnya melalui kesenian. Musik, tarian dan puisi digunakan dalam berbagai pertemuan darwis.

Pengubahan melalui berbagai latihan mental dan fisik ini dirancang untuk membuka pikiran menuju pengakuan potensialitasnya yang lebih besar, melalui tema harmoni. Pengembangan harmonis melalui sarana harmonis mungkin merupakan paparan dari apa yang dipraktekkan Rumi. Mempelajari ajaran-ajaran Rumi semacam ini dari luar, telah membingungkan banyak pengamat asing. Salah satu di antara mereka merujuk pada “pandangannya yang tidak Timur bahwa perempuan bukan sekadar barang mainan, tetapi suatu pancaran Ilahi.”
Salah satu puisi Rumi yang diterbitkan dalam Diwan asy-Syams at-Tabriz, telah menyebabkan sejumlah kebingungan bagi kalangan literalis. Karya ini merupakan kajian Rumi terhadap semua bentuk agama yang berlaku, baik agama lama maupun baru. Kesimpulannya bahwa kebenaran esensial terletak pada kesadaran batin manusia itu sendiri, bukan pada organisasi-organisasi eksternal. Hal ini benar jika kita menyadari bahwa menurut kepercayaan Sufi, “pengujian” kepercayaan dilakukan dengan cara khusus.

Seorang Sufi tidak perlu berkelana dari satu negeri ke negeri lainnya, mencari agama-agama untuk dipelajari dan mengambil apa yang bisa dibawa dari agama-agama itu. Ia juga tidak harus membaca kitab-kitab teologi dan tafsir untuk membandingkan satu ajaran dengan ajaran lainnya. “Perjalanannya” dan “pengujiannya” terhadap gagasan-gagasan lain terjadi dalam dirinya. Hal ini karena Sufi percaya bahwa seperti setiap orang mengalami sesuatu yang lain, ia memiliki pandangan batin yang mampu mengukur realitas dari sistem-sistem keagamaan yang ada.

Tegasnya, akan sangat berat dan tidak berguna untuk mendekati suatu persoalan metafisis dengan menggunakan metode penelitian biasa. Seseorang yang bertanya, “Apakah Anda telah membaca buku tentang ini dan itu, karangan si Anu dan si Fulan?” niscaya akan menggunakan pendekatan keliru. Bukanlah buku atau pengarangnya, tetapi realitas buku dan penulis yang ingin disampaikan itulah yang penting bagi Sufi. Untuk memperoleh pemahaman tentang seseorang atau ajarannya, seorang Sufi hanya membutuhkan sebuah contoh. Tetapi contoh ini harus akurat.
Dengan kata lain, ia harus ditempatkan dalam hubungan erat dengan faktor esensial dalam pengajaran yang terkait. Sebagai contoh, seorang murid yang tidak memahami secara menyeluruh sistem yang diikutiny, tidak bisa menyampaikan secara memadai sistem itu kepada Sufi guna memungkinkannya membuat pengenalan yang diperlukan. Berikut ini adalah puisi dimana Rumi berbicara tentang pencapaian hubungan erat dengan berbagai agama dan reaksinya terhadap agama-agama itu: Salib orang-orang Kristiani, dari ujung ke ujung telah aku kaji.

Dia tidak ada di salib itu. Aku telah pergi ke kuil Hindu, ke pagoda tua. Di tempat-tempat itu tidak ada tanda-tandanya. Aku pergi ke dataran tinggi Herat dan Kandahar. Aku melihat. Dia tidak ada di dataran tinggi maupun rendah. Dengan hati yang mantap, aku pergi ke puncak gunung Kaf. Di sana hanya ada sarang burung ‘Anqa. Aku pergi ke Ka’bah. Dia tidak ada di sana. Aku bertanya kepada Ibnu Sina tentangnya: Dia di luar jangkauan filosuf ini … Aku melihat ke dalam kalbuku sendiri. Di situlah tempatnya, Aku melihatnya.

Dia tidak di tempat lain … Kata ganti “dia” di sini maksudnya adalah realitas sejati. Sufi adalah abadi. Penggunaan kata-kata seperti “kemabukan” atau “anggur” maupun “hati” adalah penting, namun paling jauh hanya untuk mendekati realitas sejati itu dengan menggunakan suatu parodi. Sebagaimana Rumi menyatakannya: Sebelum kebun, tanaman dan buah anggur tercipta di dunia ini, Jiwa kami telah mabuk dengan anggur abadi. Sufi mungkin terpaksa mempergunakan perumpamaan dari dunia yang dikenal pada jenjang awal penyampaian, tetapi Rumi mengikuti standar rumusan Sufi dengan sangat ketat.
Tongkat penyangga harus dibuang jika si pasien sudah mampu berjalan sendiri. Nilai dari cara ekspresi Rumi bagi murid adalah fakta bahwa ia menjadikan hal ini jauh lebih jelas dari semua bahan yang tersedia di luar sekolah-sekolah Sufi.

Jika Tarekat eksternal tertentu telah terbiasa mengondisikan para pengikutnya secara literal dengan menggunakan perangsang secara berulang-ulang, menandai waktu pada jenjang perkembangan tertentu, mempertahankan kebutuhan murid kepada “tongkat penyangga”, tentu saja ini bukan kesalahan Rumi.
Baca selengkapnya

Minggu, 01 Februari 2015

Ajaran tasawuf Syekh Muhammad Nafis


Ajaran tasawuf Syekh Muhammad Nafis al-Banjari (selanjutnya disebut Muhammad Nafis), dalam karya tulisanya Ad-Durun nafis, menimbulkan pendapat yang pro dan kontra di kalangan masyarakat muslim. Sehingga ajaran tasawuf itu sangat menarik kita ketengahkan dalam tulisan ini. Berdasarkan pengakuan Muhammad Nafis sendiri, sebagaimana tersurat dalam karya tulisnya Ad-Durrum Nafis, dia menyatakan bahwa dalam bidang tasawuf dia adalah pengikut Junaid al-Baghdadi. Diketahui bahwa Junaid al-Baghdadi adalah salah seorang tokoh sufi penganut aliran tasawuf Sunni,
maka dengan demikian bisa diketahu bahwa Muhammad Nafis mengaku sebagai penganut aliran Tasawuf Sunni.
Namun, jika diamati dari literatur (kitab) yang ia gunakan menulis karya tulisnya tersebut,
 dapat diketahu bahwa ajaran tasawufnya adalah memadukan antara lairan tasawuf Sunni dengan aliran tasawuf filosofis,
karena dari literatur )kitab) yang ia gunakan tersebut ada yang beraliran tasawuf Sunni, seperti kitab-kitab yang ditulis oleh Imam al-Ghazali dan al-Qusyairi,
 dan ada pula yang beraliran tasawuf filosofis, seperti kitab-kitab yang ditulis oleh Ibn’Arabi dan al-Jili. Ajaran tasawuf Muhammad Nafis tentang Tuhan, nampaknya sama dengan Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali,
bahwa manusia tidak mungkin memperoleh ma’rifat penuh tentang Allah karena manusia bersifat finit (terbatas), sedangkan Allah bersifat infinit (tidak terbatas).

Muhammad Nafis sama pendapatnya dengan Al-ghazali dan Ibn’arabi bahwa kunhi (hakikat) wujud Allah itu tidak bisa diketahui melalui akal dan panca indra dan dugaan. Kita hanya wajib mengetahui bahwa Allah itu ada, Esa dan Uluhiyah-Nya,
 tanpa pengetahuan tentang hakikatnya, karena hakikat dzat Tuhan itu mungkin dikenal oleh siapapun. Muhammad Nafis dalam hubungan ini mengatakan, bahwa Allah untuk dapat dikenal oleh makhluk-Nya, maka Allah ber-tajalli (menampilkan) diri-Nya didalam Nur Muhammad yang merupakan asal kejadian. Proses penampilan Tuhan ini menghasilkan fenomena sebagai manifestasi dan dzat Allah itu sendiri,
 maka yang sebenar-benarnya ada hanyalah wujud itu Tuhan itu sendiri, sedangkan selain Dia (Allah) adalah ilusi atau hayal semata apabila dibandingkan dengan wujud Allah. Mengenai penampilan diri Tuhan ini, nampaknya Muhammad Nafis,
sama dengan teori Wahdatul wujud Ibn’Arabi dan Al-Jili. Konsep muhammad Nafis tentang Tuhan, yaitu “yang ada hanya Allah”, dia mengatakan bahwa dzat Tuhan meliputi sifat, asma’ (nama-nama), dan Afal-Nya,
karenanya, hubungan masing-masing sangatlah erat. Walaupun dzat, sifat, nama-nama (asma’),
dan perbuatan (Af’al) tadi bisa dibedakan satu sama lain menurut pengertiannya, namun, semuanya merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, masing-masing saling berhubungan.
Adanya dzat sekaligus menunjukkan adanya sifat, nama-nama (asma), dan perbuatan (af’al).
Masalah ini menjadi inti dari ajaran muhammad Nafis mengenai tauhid (pengesaan) dalam memandang sifat, nama-nama (asma), perbuatan (af’al), dan dzat Allah Ta’ala sebagai proses upaya mendekatkan diri kepada Allah. mengenai sifat Tuhan,

Muhammad nafis mengatakan bahwa sifat itu adalah diri yang disifati, dan ia bukan merupakan tambahan pada dzat, dan bukan pula sesuatu yang melekat pada dzat.
Dengan demikian, menurut dia,
bahwa ALlah Mahakuasa denga dzatNya, maha mendengar dengan dzatnya,
Maha melihat dengan dzatnya, dan maha berkata-kata dengan dzatnya, bukan dengan selain dzatnya. muhammad Nafis tidak mengakui adanya sifat ma’ani, seperti al-hayat, al-ilm, al-qudrat, al-iradat, al-asma, al-bashr,
dan sebagainya itu sebagai sifat Allah. Menurut dia, yang dmikian itu bukanlah sifat-sifat Allah tetapi hanya asma (nama-nama) Allah semata-mata Al-Quran menyebutkan sebagai asma (nama-nama) Allah. Lebih jauh ia menegaskan, bahwa jika Allah itu bersifat berarti Allah itu tidak dikenal,
sebab sesuatu yang disifatkan itu adalah tidak dikenal, padahal Allah itu lebih dikenal dari segala yang dikenal. Allah tidak memerlukan sifat untuk dikenal diri-Nya.
Allah tidak bersifat dalam pengertian seperti itu.
Kalau Allah dikatakan bersifat (memerlukan sifat) untuk mengenalkan dirinya kepada makhluknya, maka itu berarti mereduksi (mengurangi) ke Mahakuasaan Allah.
 Dalam hal ini nampaknya Muhammad Nafis ingin memelihara transendensi Allah.

 Ajaran tasawuf Muhammad Nafis tetang sifat Tuhan tadi, nampaknya sama dengan pandangan aliran Mu’tazilah yang menafik sifat Allah.
Tetapi, justru dia melontakan kritiknya terhadap aliran Mu’tazilah. Menurut dia walaupun pandangan aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa sifat tidak lain adalah dzat Allah sendiri,
dan tidak menanbah keberadaan dzat Allah, namun, menurutnya, pandangan aliran Mu’tazilah itu adalah bidah dan fisik, karena tidak wajar pandangan seperti itu diberikan kepada Allah Yang Mahatinggi.
 Ajaran Muhammad Nafis tetang sifat dan asma’ (nama-nama), terlihat adanya kemiripan dengan pandapat Ibn’Arabi. Bagi Ibn’Arabi, asma’ (nama-nama) Tuhan itu adalah asensinya dalam suatu aspek atau aspek lain yang tidak terbatas ;
 ia adalah suatu “bentuk” terbatas dan pasti asensi Tuhan. Adapun sifat itu tidak lain adalah nama Tuhan yang dimanifestasikan di dalam dunia ekternal ini.
 Sebagaimana Muhammad Nafis yang hanya mengakui keberadaan asma’ (nama-nama) Tuhan,
tidak mengakui keberadaan sifat-sifatnya, Ibn’Arabi juga meyakini bahwa sifat-sifat tersebut tidak mempunyai eksestensi dan wujud entitas didalam esensi Tuhan,
sifat-sifat tersebut haruslah dipahami bahwa itu hanya metafor (semu) saja, bukan dalam pengertian sebagai tambahan atas esensi.
 Tentang penciptaan,
aliran Ahlus Sunnah, termasuk al-Ghazali menyatakan bahwa Tuhan menciptakan alam langsung dari tidak ada, Al-Farabi dan Ibn Sina alam diciptakan dengan cara emansi (pelimpahan). Sedangkan menurut Ibn Arabi alam ini ada melalui proses tajalliyat.

Teori Ibn arabi ini mempengaruhi Al-Jili. kemudian teori ini dikembangkan oleh seorang sufi dari gujarat, Muhammad Ibn Fadullah ia kembangkan tori tajalli itu menjadi tujuh tahapan yang dikenal dengan istilah martabat tujuh.
 Berikutnya teori ini mempengaruhi dua tokoh sufi di Aceh, Hamzah Fansyuri dan Syamsuddin Pasai.
Ajaran ini nampak sekali menunjukkan ajaran tasawuf wahdatul wujud. Muhammad Nafis tentang penciptaan ini nampak sekali dia terpengaruh oleh teori martabat tujuh tersebut.
Hal ini tergambar pada pendapatnya yang menyatakan bahwa penampilan dzat itu melalui tujuh martabat dari hadrat al-Sarij, yaitu hadrat dzat semata-mata. Menurut dia, penampilan dzat ialah dzat-Nya menjelma tirun berjenjang yang disebutnya dengan martabat tajalli dan tanzil.
Dalam teori ini nampaknya dia memandang segala ciptaan itu adalah bayangan diri yang maha Mutlak (Allah), jadi benar-benar wujud hanya satu, yaitu Allah semata.
 Menurut Muhammad nafis, Nur Muhammad itu adalah awal dari segala kejadian.
Kalau dibandingkan dengan teori kejadian dikalangan filosof Islam, seperti Al-Farabi dan Ibn Sina yang menyatakan bahwa awal kejadian adalah akal pertama, maka jelas sekali persamaan kedua teori ini dalam prinsif.
 Namun, dari sisi fungsinya jauh berbeda. Ajaran tasawuf Muhammad Nafis tentang manusia atau yang lebih dikenal dengan istilah al-Insanul Kamil, nampaknya dipengaruhi oleh pemikiran tasawuf ibn arabi dan Al-Jilli.

Mereka mengaitkan ajarannya tentang manusia dengan ajaran tentang Tuhan dan penciptaan. Manusia menurut dia adalah mikrokosmus karena padanya tercermin dengan sempurna segala nama-nama ketuhanan dan hakikat-hakikat yang lahir pada alam raya. Manusia disebut Al-Insanul Kamil,
 karena manusia yang hanya mampu mengaktualisasikan atribut-atribut Tuhan secara sempurna. Dan Al-Insanul Kamil menurut mereka adalah orang-orang yang mampu mencapai peringkat ma’rifat, sehingga terhimpun pada dirinya sifat jala (kemuliaan) dan sifat jamal (keindahan). Menurut Muhammad Nafis,
 bagi seseorang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah, dia harus berpandangan bahwa alam semesta ini fana’,
dan hakikatnya tidak ada, yang ada hanya wujud Allah. Wujud Allah meliputi segala sesuatu. Allah tidak ada persamaannya dengan sesuatu. Tidak ada maujud pada hakikatnya hanya Allah.

 Fana’ segala perbuatan hamba pada perbuatan Allah, fana’ segala nama hamba pada nama Allah, fana’ pula segala sifat-sifat hamba pada sifat Allah, dan akhirnya fana’ segala dzat hamba pada dzat Allah.
Segala apapun yang ada pada makhluk ini fana’ dan (dugaan) semata. Apabila dia melakukan pandangan seperti ini, pada saatnya dia akan merasa fana’ dalam lautan ahadiyah wujud Allah, yang tidak ada tandingannya.
 Pada saat itu tidak terlihat olehnya amal dirinya, tidak dirasakannya bahwa dirinya sendiri yang dapat mencapai peringkat ini, tidak pula diketahuinya wujud mutlak. Perasaannya berkelana tanpa disadarinya karena hanyut bersama Nur Ilahi yang dipandangnya.
 Untuk mendekatkan diri kepada Allah, menurut Muhammad Nafis, seseorang harus melalui beberapa peringkat sebagai berikut : Pada peringkat pertama dia harus berpandangan tawhidul afal, yaitu memandang bahwa perbuatan hakiki hanya perbuatan Allah,
sedangkan perbuatan makhluk adalah semu yang sirna di dalam perbuatan Allah yang hakiki,
 bagaimana sirnanya cahaya lampu didalam sinar matahari yang terang benderang. Pandangan Muhammad Nafis tentang perbuatan ini sama dengan pendapat Ibn’Arabi.

 Pada peringkat ini, seseorang sufi sudah mampu memfanakan perbuatannya didalam perbuatan allah yang maha hebat. Dengan dicapainya peringkat tawhidul af’al ini, sufi akan memperoleh hasil/buah dari perjuangannya dalam upaya mendekati tujuan yang didambakannya.
Peringkat kedua untuk mendekatkan diri kepada Allah menurut Muhammad nafis adalah orang mampu berpandangan bahwa wujud yang hakiki hanya wujud Allah, maka sebagai konsekuensi logisnya, maka hakikat nampun hanya nama Allah, karena semua nama di alam semesta ini adalah perwujudan dari nama Allah.
Cara pandang pada peringkat tawhidul asma’ ini adalah memandang semua nama yang banyak ini pada hakikatnya hanya satu wujud dalam esensi Allah. dan diri Allah adalah manifestasi dari seluruh nama makhluk ini.
Baca selengkapnya